Oleh: Achmad Rizki
TransJakarta, sistem Bus Rapid Transit (BRT) andalan Jakarta, terus berbenah dan berekspansi. Jaringan bus berlorong khusus yang akrab disebut busway ini kini menjadi tulang punggung transportasi publik ibu kota. Dengan trayek BRT terpanjang di dunia (sekitar 251 km) dan armada lebih dari 4.300 bus, TransJakarta melayani lebih dari 1 juta penumpang setiap hari.
Peran TransJakarta sangat vital untuk mengurangi kemacetan Jakarta dengan menyediakan alternatif perjalanan yang cepat, nyaman, dan terjangkau bagi masyarakat umum.
Terhubung dengan MRT, LRT, dan KRL
Sistem TransJakarta kini kian terintegrasi dengan moda transportasi lain seperti MRT Jakarta, LRT, hingga KRL Commuter Line. Di berbagai titik strategis, halte TransJakarta telah terkoneksi langsung dengan stasiun MRT/LRT – contohnya Halte Bundaran HI yang terhubung dengan Stasiun MRT Bundaran HI, Halte Tosari yang dekat Stasiun Sudirman (KRL), dan Halte Lebak Bulus yang menyambung ke MRT Lebak Bulus . Integrasi ini memudahkan penumpang untuk berganti moda tanpa perlu keluar-masuk gedung yang berbeda.
Dari sisi tiket, Jakarta telah menerapkan sistem tiket terpadu JakLingko yang memungkinkan satu kartu untuk pembayaran bus, MRT, LRT, hingga KRL. Bahkan, kini tarif TransJakarta dan TransJabodetabek terintegrasi: penumpang rute bus Jabodetabek yang melanjutkan perjalanan dengan bus TransJakarta tidak perlu membayar lagi alias gratis saat transit.
Upaya integrasi fisik, rute, hingga sistem pembayaran ini terus digencarkan oleh Pemprov DKI demi memudahkan warga beralih ke transportasi publik.
Rute Baru Jangkau Bekasi hingga Tangerang
Tidak hanya memperkuat layanan di dalam kota, TransJakarta kini meluaskan jangkauan hingga kota-kota penyangga (Bodetabek). Sejumlah rute TransJabodetabek baru diluncurkan untuk menghubungkan pinggiran ke pusat Jakarta. Contohnya rute Bekasi–Cawang, Kota Wisata (Cibubur)–Cawang, Alam Sutera (Tangerang)–Blok M, hingga Binong (Tangerang)–Grogol.
Layanan lintas wilayah ini memungkinkan warga di Bekasi, Depok, Tangerang, dan Bogor naik bus menuju Jakarta tanpa harus berganti-ganti kendaraan.
Rute TransJabodetabek baru tersebut dioperasikan dengan bus ber-AC yang nyaman, melalui jalan tol untuk memangkas waktu tempuh. Tarifnya pun terjangkau Rp3.500 sekali jalan dengan subsidi dari pemerintah. Ke depannya, Pemprov DKI Jakarta bahkan berencana menggratiskan layanan TransJabodetabek secara bertahap.
Gubernur Jakarta (bersama pemerintah daerah Bodetabek) telah menyiapkan skema subsidi agar warga pinggiran semakin tertarik meninggalkan kendaraan pribadinya dan beralih ke bus umum ini.
Untuk mendukung keberhasilan rute-rute baru, para ahli dan pejabat mengusulkan pembangunan fasilitas park and ride di kawasan pinggir kota. Artinya, disediakan lahan parkir di dekat titik awal bus di Bodetabek, sehingga pengguna dapat memarkir mobil/motor pribadinya lalu melanjutkan perjalanan dengan TransJakarta. Dengan demikian, layanan “feeder” ke Jakarta ini bisa efektif mengurangi jumlah kendaraan yang masuk ke ibu kota.
Upaya Mengajak Warga Tinggalkan Mobil
Berbagai inisiatif digulirkan untuk mendorong warga beralih ke transportasi umum. Selain peningkatan kualitas dan jangkauan layanan, Pemprov DKI kerap melakukan program promosi seperti hari bebas tarif di momen-momen tertentu. Sebagai contoh, pada perayaan malam Tahun Baru, seluruh layanan TransJakarta, MRT, dan LRT digratiskan selama 31 Desember – 1 Januari untuk mengajak warga merayakan tanpa mobil. Kebijakan serupa pernah diterapkan saat acara-acara besar, di mana tarif TransJakarta diturunkan menjadi Rp1 atau nol rupiah untuk sementara.
Pemprov DKI juga menerapkan gagasan “Jakarta Ramah Bersepeda dan Berjalan” setiap hari Minggu di acara Car Free Day. Ribuan warga tumpah ruah berjalan kaki dan bersepeda di Jalan Sudirman-Thamrin yang bebas kendaraan bermotor. Momentum seperti ini turut dimanfaatkan untuk mempromosikan TransJakarta bus tetap beroperasi di jalur tertentu agar pengunjung Car Free Day bisa datang tanpa membawa kendaraan pribadi.
Selain itu, ada imbauan inovatif seperti program “Rabu tanpa kendaraan pribadi” bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) Jakarta, di mana setiap hari Rabu pegawai pemda diarahkan naik transportasi umum. Langkah ini diharapkan memberi teladan bagi masyarakat luas bahwa berangkat kerja naik bus atau MRT itu feasible dan nyaman.
Semua upaya tersebut mulai menunjukkan hasil. Jumlah penumpang TransJakarta melonjak pascapandemi, mencapai 371 juta penumpang sepanjang tahun 2024 tertinggi sepanjang sejarah perusahaan. Angka ini naik drastis dari 285 juta di 2023, didorong pembukaan rute baru dan perbaikan layanan. Kenaikan penumpang ini menandakan semakin banyak warga yang mencoba dan mempercayai transportasi publik. Harapannya, tren ini terus berlanjut sehingga budaya commuting dengan kendaraan umum semakin mengakar.
Harapan Kurangi Macet dan Polusi
Ekspansi dan integrasi TransJakarta membawa harapan besar untuk mengurai kemacetan kronis Jakarta. Maklum, selama ini mayoritas perjalanan di Jakarta masih menggunakan kendaraan pribadi. Data tahun 2023 mencatat dari sekitar 21 juta perjalanan harian di Jakarta, hanya 4 juta atau 18,9% saja yang memakai transportasi umum.
Artinya lebih dari 80% perjalanan masih disuplai mobil dan motor pribadi. Dominasi kendaraan pribadi inilah biang keladi kemacetan parah dan polusi udara di ibu kota.
Kemacetan Jakarta bukan sekadar isu kenyamanan, tapi juga kerugian ekonomi yang luar biasa. Studi terbaru mengungkap kerugian ekonomi mencapai sekitar Rp 100 triliun per tahun akibat kemacetan. Angka fantastis ini mencakup waktu produktif yang hilang karena terjebak macet, borosnya bahan bakar yang terbuang, hingga dampak kesehatan dari paparan polusi.
Warga Jakarta tentu akrab dengan penumpukan lalu lintas di jam sibuk yang seolah tiada ujung; situasi ini menyebabkan stres, kualitas hidup menurun, dan tingginya biaya transportasi sehari-hari bagi masyarakat.
Karena itu, peningkatan penggunaan TransJakarta dan moda umum lainnya diharapkan mengurangi volume kendaraan pribadi di jalan. Jika lebih banyak orang naik bus atau kereta, jalan raya akan lebih lengang, waktu tempuh rata-rata berkurang, dan produktivitas meningkat. Polusi udara pun berpotensi turun mengingat sektor transportasi menyumbang porsi terbesar emisi polutan di Jakarta.
Udara yang lebih bersih akan berdampak positif bagi kesehatan warga. Secara keseluruhan, perpindahan ke transportasi massal diyakini akan meningkatkan kualitas hidup di Jakarta: warga bisa menghabiskan lebih sedikit waktu di jalan dan lebih banyak waktu untuk keluarga atau kegiatan produktif lainnya.
Belajar dari Kota Dunia yang Sukses
Banyak kota besar di dunia telah membuktikan bahwa investasi di transportasi publik berbuah manis. Singapura, misalnya, menerapkan kebijakan tegas untuk membatasi kendaraan pribadi mulai dari kuota kepemilikan mobil, tarif jalan berbayar (ERP), hingga parkir mahal. Hasilnya, sekitar 66% perjalanan di Singapura dilakukan dengan transportasi umum.
Pemerintah Singapura menargetkan angka ini naik menjadi 75% pada jam sibuk tahun 2030. Bahkan Hong Kong lebih ekstrem lagi: karena sistem transportasi massalnya sangat andal, hampir 88% warga Hong Kong menggunakan transportasi publik untuk mobilitas sehari-hari menjadikannya salah satu modal share tertinggi di dunia.
Contoh lain adalah London yang berhasil menurunkan volume mobil di pusat kota setelah menerapkan Congestion Charge (tarif kemacetan) bagi kendaraan yang masuk zona sibuk. Kebijakan tersebut, dipadu dengan layanan bus dan kereta bawah tanah yang terintegrasi, membuat banyak orang beralih ke transportasi umum atau berjalan kaki. Tokyo dan kota-kota di Eropa Barat juga menunjukkan pola serupa: jaringan angkutan umum yang luas dan terjadwal rapi membuat warganya tidak bergantung pada mobil pribadi. Sebagai bonus, kota-kota itu menjadi lebih ramah lingkungan dan nyaman ditinggali.
Jakarta bisa mengambil inspirasi dari kisah sukses kota-kota tersebut. Tentu, setiap kota punya tantangan unik. Namun prinsip dasarnya sama: sediakan transportasi publik yang aman, nyaman, terjangkau, dan terintegrasi, serta imbangi dengan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi. Dengan strategi “carrot and stick” semacam itu, perlahan tapi pasti warga akan bergeser ke transportasi publik. Pada gilirannya, kemacetan berkurang, langit Jakarta lebih biru, dan kualitas hidup penduduk meningkat.
Optimistis Menatap Jakarta yang Lebih Lancar
Perlu diakui, mengubah kebiasaan transportasi tidak bisa instan. Kendaraan pribadi masih menjadi pilihan banyak orang karena faktor kenyamanan, gengsi, atau keterbatasan akses transportasi umum di sejumlah wilayah. Namun dengan ekspansi besar-besaran TransJakarta, integrasi antarmoda yang semakin rapi, serta beragam insentif dari pemerintah, pola ini perlahan mulai berubah.
Kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung pun layak diapresiasi. Selain memperluas rute dan integrasi dan akan menambah. Ini bukan sekadar tambahan trayek melainkan bentuk keberpihakan nyata kepada warga yang bekerja di sektor informal, bergiliran, atau harus bepergian di luar jam sibuk. Dengan langkah ini, Jakarta makin menunjukkan wajah kota yang peduli pada semua lapisan warganya, siang dan malam.
Jika seluruh upaya ini terus konsisten dijalankanmulai dari penambahan rute, integrasi sistem tiket, pembangunan fasilitas pendukung, hingga perluasan layanan 24 jam bukan tidak mungkin Jakarta bisa keluar dari predikat kota termacet. Warga bisa bernafas lebih lega, jalanan lebih lancar, udara lebih bersih, dan kualitas hidup meningkat.
Pada akhirnya, kesuksesan transportasi publik bukan cuma soal infrastruktur, tapi juga soal keberanian untuk berubah. Dan perubahan itu dimulai dari hal sederhana meninggalkan mobil dan mencoba naik bus hari ini. Selamat datang di Jakarta yang lebih manusiawi, terhubung, dan berpihak pada masa depan.