Intime – Satu bulan menjelang penutupan tahun anggaran, perhatian publik kembali mengarah pada pemerintah daerah. Sorotan warganet, media, hingga pelaku usaha muncul terhadap pola berulang setiap akhir tahun: belanja daerah yang lambat di awal, menumpuk di kas daerah, lalu dikebut di penghujung tahun.
Guru Besar Ilmu Manajemen Institut Perbanas, Steph Subanidja, mengingatkan bahwa percepatan belanja tidak boleh mengorbankan ketepatan sasaran. Menurut Steph, ngebut belanja tanpa perencanaan matang justru berpotensi menimbulkan pemborosan.
“Yang masyarakat butuhkan bukan sekadar serapan tinggi, tetapi manfaat nyata yang dirasakan langsung,” ujarnya di Jakarta, Selasa (2/12).
Steph merujuk teori Keynes bahwa belanja pemerintah menjadi faktor penggerak ketika ekonomi swasta melemah. Dalam konteks daerah, belanja publik menyasar konsumsi masyarakat, padat karya, UMKM, dan layanan dasar. Data BPS 2025 pun menunjukkan kontribusi besar belanja daerah terhadap PDRB di banyak wilayah.
“Jika belanja terlambat, multiplier effect ekonomi ikut tertunda,” kata Steph.
Ia menilai sejumlah tantangan klasik masih membayangi. Banyak daerah terlambat memulai pengadaan karena lemahnya perencanaan, revisi anggaran, hingga proses lelang yang molor.
Dampaknya, realisasi anggaran baru bergerak signifikan setelah kuartal III. Temuan Kementerian Keuangan menunjukkan kas daerah kembali menumpuk ratusan triliun rupiah pada triwulan III 2024.
Steph mengingatkan bahwa fenomena end-year spending surge berisiko memicu proyek asal jadi hanya demi mengejar serapan.
“Output tercapai, tapi outcome tidak hadir,” tegasnya.
Untuk memperbaiki kualitas belanja, ia menekankan pentingnya digitalisasi pengadaan melalui e-procurement dan e-catalog lokal guna menghapus bottleneck dan meningkatkan transparansi. Selain itu, belanja harus diarahkan pada program dengan multiplier tinggi seperti padat karya, infrastruktur skala kecil, dan dukungan UMKM.
Steph juga menyoroti perlunya fleksibilitas anggaran. Jika satu proyek tidak siap, dana harus segera dialihkan ke kegiatan lain yang lebih matang. Penguatan pendampingan APIP dan BPKP dibutuhkan agar eksekutor anggaran tidak terhambat ketakutan administratif.
“Percepatan itu perlu, tetapi harus punya arah. Value for money harus jadi kompas,” tegas Steph.
Ia menutup dengan penegasan bahwa keberhasilan tahun anggaran tidak diukur dari angka serapan belaka, melainkan dari kemampuan belanja daerah mendorong ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan warga.

