Intime – Jumlah korban keracunan hidangan Makan Bergizi Gratis (MBG) semakin meningkat. Berdasarkan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), per 27 Sepetmber 8.649 anak menjadi korban program kampanye Presiden Prabowo Subianto.
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji menerangkan, terjadi lonjakan jumlah korban keracunan, sebanyak 3.289 anak dalam dua pekan terakhir.
Pada September ini, jumlah korban keracunan per minggunya selalu mengalami peningkatan. Penambahan Jumlah korban terbanyak terjadi pada satu pekan lalu (22-27 September 2025), korban mencapai 2.197 anak.
“Alih-alih memberi pemenuhan gizi, makanan yang disediakan negara justru membuat ribuan anak keracunan massal. Tangis anak-anak pecah di ruang kelas, antrean panjang di rumah sakit, keresahan orangtua, dan trauma makan MBG adalah bukti nyata bahwa program ini gagap mencapai tujuan,” kata Ubaid dalam keterangan tertulis, Senin (29/9).
Atas kejadian ini, JPPI mengkritik respons pemerintah yang hanya menutup Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang terdapat kasus keracunan.
“Bagiamana dengan SPPG lain yang juga terbelit berbagai masalah lainnya? Ini adalah pendekatan tambal sulam, ini dinilai sangat berbahaya dan mengabaikan akar permasalahan,” ujar Ubaid.
Dia menilai, keracunan hanyalah puncak gunung es. Masalah MBG lebih dalam dari itu.
“Kami menemukan praktik menu di bawah standar, pengurangan harga per porsi, konflik kepentingan, hingga pembungkaman suara kritis di sekolah. Karena itu, kami menuntut semua dapur dihentikan sementara untuk evaluasi dan pembenahan total,” papar Ubaid.
Evaluasi JPPI juga mengungkap tiga masalah fundamental yang menyebabkan kekacauan dalam pelaksanaan MBG, yakni:
1. Buruknya Pemahaman Gizi dan Pangan
Misalnya, soal menu yang disajikan. Masalahnya tidak hanya berhenti pada soal kualitas gizi, tetapi juga adanya penyeragaman menu tanpa mempertimbangkan sumber daya pangan lokal.
“Hal ini justru bertentangan dengan jargon swasembada pangan pemerintah,” kata Ubaid.
2. Struktur Kepemimpinan yang Keliru
Badan Gizi Nasional (BGN) yang seharusnya dikelola oleh pakar gizi, ahli pangan, dan tenaga kesehatan, justru didominasi oleh purnawirawan militer.
3. Eksklusi Sekolah dan Partisipasi Masyarakat Sipil
Ubaid menilai, sekolah seolah-olah hanya dijadikan objek dari program ini, padahal MBG telah banyak mencaplok anggaran pendidikan.
Sekolah tidak dilibatkan dalam perencanaan, dan juga pengelolaan program ini. bahkan, peraturan dan pelaksanaan program berjalan tanpa partisipasi dan transparansi publik.
“Ambisi yang hanya mengejar target kuantitas, terbukti telah mengabaikan standar akuntabilitas, keamanan, dan keselamatan anak. Program ini dijalankan terburu-buru untuk pencitraan politik, bukan perlindungan dan pemenuhan gizi anak. Anak-anak kita adalah pemimpin masa depan bangsa, ia bukan prajurit yang bisa dikorbankan,” tambah Ubaid.
Berdasarkan temuan tersebut, JPPI mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk:
Menghentikan sementara seluruh operasional dapur MBG hingga evaluasi menyeluruh dan sistem akuntabilitas juga jaminan keamanan pangan terbukti kuat.
Melakukan reformasi Badan Gizi Nasional (BGN) dengan memastikan kepemimpinan diisi oleh tenaga profesional dan ahli di bidangnya, serta mengembalikan BGN pada khittah-nya sebagai lembaga teknis.
Membangun mekanisme akuntabilitas dan partisipasi publik yang transparan dalam setiap tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program MBG.