Kebijakan WNA Pimpin BUMN Bertentangan dengan Prinsip Ekonomi Pancasila

Intime – Ekonom Defiyan Cori menyampaikan kekecewaannya atas pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang membuka peluang warga negara asing (WNA) atau ekspatriat menjadi pimpinan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Menurut Defiyan, kebijakan tersebut bertentangan dengan semangat ideologi Pancasila dan konstitusi, sebagaimana tertuang dalam visi-misi Asta Cita pemerintahan Prabowo-Gibran.

“Segala kebijakan tata kelola pemerintahan tidak bisa disandarkan hanya pada profesionalisme yang sumir. Bukankah tindak penyimpangan seperti insider trading dan korupsi justru banyak dilakukan oleh pihak asing?” ujarnya, Minggu (19/10).

Ia menjelaskan, terdapat perbedaan mendasar antara sistem ekonomi kapitalisme di negara maju dengan sistem ekonomi konstitusi yang diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. BUMN, kata Defiyan, didirikan bukan sebagai korporasi swasta yang mengejar keuntungan, melainkan sebagai entitas ekonomi milik bersama rakyat Indonesia.

“BUMN merupakan hasil nasionalisasi perusahaan swasta asing di era kolonial, bukan kepemilikan modal pribadi sebagaimana korporasi swasta,” tegasnya.

Defiyan juga menyoroti lahirnya Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) yang dibentuk berdasarkan UU No. 1 Tahun 2025 dan diatur melalui PP No. 10 Tahun 2025. Menurutnya, keberadaan lembaga tersebut berpotensi mengubah struktur hukum pengelolaan BUMN secara mendasar.

“Pasal 2 PP 10/2025 menyebut Presiden melimpahkan sebagian kewenangannya kepada Danantara. Jika badan ini dikelola oleh ekspatriat, maka risiko penyalahgunaan aset negara sangat besar,” katanya.

Ia mengingatkan, perubahan definisi kekayaan BUMN dalam regulasi baru—dari “kekayaan negara yang dipisahkan” menjadi aset korporasi—berpotensi disalahartikan dan disalahgunakan.

“Apalagi jika dipimpin oleh WNA yang tidak memiliki rasa nasionalisme dan tidak merasakan perjuangan kemerdekaan bangsa ini,” ujar Defiyan.

Lebih lanjut, ia mempertanyakan logika kebijakan yang mengizinkan ekspatriat menduduki posisi strategis di perusahaan negara. Menurutnya, keputusan itu mencerminkan krisis kepercayaan terhadap kemampuan sumber daya manusia (SDM) Indonesia.

“Perluasan kesempatan bagi ekspatriat justru merupakan pelecehan terhadap kualitas SDM Indonesia. Kebijakan ini menunjukkan inferiority complex terhadap bangsa sendiri,” tuturnya.

Defiyan menegaskan, BUMN adalah bagian dari perlawanan terhadap sistem kapitalisme-liberalisme yang dibawa penjajah. Karena itu, keberadaan BUMN harus tetap berpijak pada Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar perekonomian nasional.

“Presiden Prabowo perlu mempertimbangkan kembali kebijakan membuka ruang bagi ekspatriat menjadi pimpinan BUMN maupun BPI Danantara. Langkah ini harus dikaji secara paradigmatik, konstitusional, dan substansial,” pungkasnya.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini