Intime – Pengamat Politik dan Kebijakan Publik Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS), Adib Miftahul, menyayangkan konflik yang tengah melanda tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), termasuk munculnya dorongan pemakzulan terhadap Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya.
Adib menilai kondisi ini mencerminkan degradasi fungsi PBNU sebagai organisasi yang selama ini menjadi garda terdepan dalam urusan keumatan, baik secara geopolitik maupun domestik.
“Sudah sejak lama PBNU dinilai menjadi garda terdepan untuk urusan geopolitik, urusan domestik, dan bagaimana menjaga umat. Tapi menurut saya, urusan menjaga umat ini menjadi kendor. Sehingga saya turut mengkritisi, sudah lah PBNU itu fokus terhadap umat seutuhnya,” ujar Adib di Jakarta, Selasa (25/11).
Menurut Adib, perpecahan yang terjadi saat ini merupakan konsekuensi langsung dari meningkatnya keterlibatan PBNU dalam politik praktis dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi tersebut, katanya, telah memicu munculnya faksi-faksi internal yang menyerupai struktur kekuatan di partai politik.
“Ini karena akumulasi PBNU yang terseret dengan politik praktis sehingga terjadi di dalam internal itu banyak faksi-faksi yang berbeda. Ibarat partai politik bagaimana kita punya celah, kita ingin berkuasa itu saja,” jelasnya.
Adib juga menyoroti meningkatnya daya tawar politik PBNU yang dinilainya kini bahkan lebih besar dibandingkan partai politik dalam hal pengaruh publik dan potensi pengerahan suara. Hal ini membuat PBNU semakin dilirik dalam setiap kontestasi elektoral.
“PBNU malah lebih seksi daripada partai politik sebagai penggedor suara, peraup suara, bahkan kalau mau jujur mungkin untuk meraup pendapatan juga bisa,” kata Adib.
Ia juga mengkhawatirkan adanya pihak luar yang memanfaatkan situasi konflik internal ini untuk kepentingan politik tertentu.
“Karena diduga situasi ini dimanfaatkan oleh tangan tak terlihat dari eksternal yang mencoba mengkooptasi PBNU untuk kepentingan politik,” pungkasnya.

