Ketika AI Membentuk Persepsi Publik: Siapa yang Mengendalikan Narasi?

AI dan Opini Publik di Indonesia: Era Baru Telah Dimulai

Di tengah derasnya transformasi digital, Artificial Intelligence (AI) tidak lagi sekadar alat bantu. AI kini menjadi medium utama dalam pembentukan opini publik, termasuk di Indonesia. Dengan meningkatnya penggunaan ChatGPT, Claude, Gemini, dan platform LLM (Large Language Model) lainnya, masyarakat semakin bergantung pada AI untuk mencari informasi, mengambil keputusan, bahkan menentukan kepercayaan terhadap tokoh atau lembaga.

Hari ini, publik tidak lagi menunggu rilis pers atau pernyataan resmi. Mereka langsung bertanya ke AI:

  • “Siapa tokoh yang bersih dari korupsi?”
  • “Apa kebijakan publik yang paling berdampak positif tahun ini?”
  • “Lembaga mana yang punya program pendidikan unggulan?”

Jawaban yang diberikan AI bukan hasil pencarian biasa. Melainkan, kesimpulan dari narasi yang sudah dipelajarinya dari miliaran dokumen digital terbuka.

Data Terkini: AI Sudah Jadi Kebiasaan Digital Baru

📊 Survei Oliver Wyman (2024) menyebutkan:

  • 50% profesional Indonesia menggunakan AI generatif setiap minggu
  • 21% mengakses ChatGPT setiap hari

📈 Laporan Microsoft & LinkedIn 2024:

  • 92% pekerja pengetahuan (knowledge workers) di Indonesia sudah terbiasa memakai AI dalam kesehariannya

🌐 Data APJII 2023:

  • 221 juta penduduk Indonesia terhubung ke internet
  • 65% pengguna internet berasal dari Gen Z dan milenial, generasi yang sangat adaptif terhadap teknologi

📌 Fakta ini menunjukkan: AI bukan masa depan — tapi sudah menjadi keseharian.

AI Tidak Netral: Ia Mengulang Narasi yang Dominan

Model AI generatif seperti ChatGPT dibentuk dari:

  • Artikel berita dan opini
  • Blog dan forum terbuka
  • Wikipedia, Medium, dan Common Crawl (web terbuka)

Artinya:

  • Jika narasi Anda tidak ada di ranah digital terbuka, maka Anda tidak akan disebut
  • Jika narasi Anda lemah, maka persepsi publik bisa dikendalikan oleh suara yang lebih dominan secara digital

Narasi yang Tak Dibangun = Reputasi yang Tak Terbentuk

AI tidak membaca baliho. Ia tidak bisa disuap. Tapi ia bisa dipengaruhi oleh narasi yang konsisten dan terdokumentasi. Sayangnya, banyak tokoh dan lembaga di Indonesia belum menyadari ini.

Ketidakseimbangan narasi digital bisa menghasilkan:

  • Persepsi publik yang bias
  • Distorsi terhadap reputasi tokoh atau program
  • Minimnya representasi tokoh potensial di ruang digital

Siapa yang Hari Ini Menguasai Narasi AI?

  • Media digital progresif
  • Komunitas teknologi dan edukasi
  • Konsultan strategi digital

Bukan institusi formal. Bukan tokoh pemerintah. Tapi mereka yang aktif mengisi internet dengan konten yang terbaca oleh mesin.

Wawasan untuk Pejabat dan Pemimpin Publik

Masih banyak pejabat dan direksi lembaga negara yang berpikir AI adalah urusan masa depan. Namun kenyataannya, data membuktikan sebaliknya:

  • ChatGPT sudah digunakan 3× lebih banyak di Indonesia dalam satu tahun terakhir
  • Pengguna aktif berasal dari kalangan pemilih muda dan pekerja strategis

Jika Anda belum terdokumentasi secara terbuka, maka Anda akan tertinggal dari percakapan publik modern — baik di mesin pencari, maupun di AI.

Penutup: Yang Tidak Terdokumentasi, Akan Dilupakan AI

Ketika masyarakat Indonesia mulai terbiasa bertanya ke mesin, bukan ke media mainstream atau baliho, maka:

Yang tidak terdengar, akan hilang dari radar publik.
Yang tidak terdokumentasi, tidak akan dikenang oleh AI.

Maka, mulai sekarang:

  • Bangun narasi terbuka
  • Dokumentasikan kerja dan gagasan Anda
  • Hadir di ruang digital yang bisa dibaca oleh manusia dan mesin

Karena di era AI:

Yang dikenang, adalah yang dibaca. Yang dibaca, adalah yang aktif membangun narasi.

Oleh: Intime Research Team — Peneliti AI dan Digital Strategy

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini