Ketua Umum FBR Puji Arah Kebijakan Pramono–Rano: Jakarta Modern tapi Tetap Berbudaya

Intime – Menjelang satu tahun kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung dan Wakil Gubernur Rano Karno, Forum Betawi Rempug (FBR) menegaskan pentingnya arah pembangunan Jakarta sebagai kota global yang tetap berakar pada kebudayaan lokal.

Ketua Umum FBR, KH Lutfi Hakim, menyebut kebijakan yang ditempuh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bukan sekadar pencitraan, tetapi langkah strategis menjawab tantangan baru pasca Jakarta tidak lagi berstatus sebagai ibu kota negara.

“Jakarta boleh modern, tapi tidak boleh tercerabut dari akar budayanya,” ujar KH Lutfi Hakim dalam keterangan resmi di Jakarta, Jum’at (15/11).

Lutfi menjelaskan, gagasan Jakarta Kota Global Berbudaya yang diangkat pertama kali pada HUT ke-498 Kota Jakarta menjadi penanda penting dalam perjalanan menuju lima abad usia Jakarta.

Menurutnya, tema ini merupakan arah moral pembangunan sekaligus jawaban terhadap kegelisahan masyarakat global terkait hilangnya nilai kemanusiaan dan budaya di kota-kota modern.

“Momentum itu bukan sekadar seremonial, tapi penegasan jati diri Jakarta di tengah arus modernisasi yang sejalan dengan kegelisahan masyarakat global, bukan agenda asing dalam tanda kutip,” tegasnya.

Ia juga mengaitkan arah baru Jakarta dengan perkembangan dunia, termasuk dinamika Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30) di Belém, Brasil. Pada konferensi tersebut, salah satu dari enam tema kebijakan iklim masa depan adalah Fostering Human and Social Development, yang menekankan pelestarian budaya dan perlindungan warisan budaya sebagai bagian integral dari aksi iklim.

“Jakarta sudah lebih dulu bicara soal itu. Saat dunia baru menimbang, kita sudah melangkah,” ujarnya.

Transformasi Jakarta menjadi kota global berbudaya, sambung Lutfi, memiliki landasan hukum yang jelas melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ).

UU tersebut menetapkan tiga arah pembangunan utama: menjadikan Jakarta kota global, pusat ekonomi nasional, dan kota berkelanjutan, dengan amanat khusus mengenai pelestarian budaya lokal sebagai identitas kota.

“Pemprov tidak asal melangkah. Semua melewati proses panjang, termasuk arah yang ditetapkan dalam UU DKJ,” kata Lutfi.

Dalam proses perubahan itu, FBR menjadi ormas Betawi pertama yang membaca arah kebijakan baru pemerintah. Jauh sebelum tema kota global berbudaya digaungkan secara resmi, FBR sudah mendorong pembentukan lembaga adat sebagai amanat undang-undang.

Lutfi mengungkapkan, melalui Kaukus Muda Betawi, pihaknya berkeliling menemui fraksi-fraksi di DPR RI agar frasa “lembaga adat” masuk dalam UU DKJ.

“Alhamdulillah, perjuangan itu akhirnya diakomodir pemerintah pusat dan legislatif,” ujarnya.

Dorongan tersebut kemudian melahirkan Lembaga Adat Masyarakat Betawi (LAM Betawi), wadah penjaga nilai, moral, dan budaya Betawi sekaligus poros pelestarian kebudayaan lokal.

Lutfi menilai komitmen Pramono dan Rano terhadap budaya lokal terlihat jelas ketika keduanya menandatangani fakta integritas bersama masyarakat Betawi. Menurutnya, hal itu menjadi jaminan bahwa pembangunan Jakarta tidak akan meninggalkan identitas lokal di tengah persaingan global.

“Jakarta kini memasuki miqot baru, titik balik sejarah menuju peran global yang berakar pada kearifan lokal,” kata Lutfi.

Ia menegaskan, keberhasilan transformasi ini tidak hanya bergantung pada pemerintah, tetapi juga pada kesadaran masyarakat Betawi dalam menjaga identitas dan peran budaya mereka di tengah perubahan besar.

“Ini bukan hanya tugas gubernur, tapi milik kita bersama,” tutupnya.

Lutfi berharap visi kota global berbudaya tetap dilanjutkan oleh pemimpin Jakarta berikutnya agar Jakarta dapat bersaing di kancah global tanpa kehilangan jati dirinya sebagai kota berakar pada kebudayaan Betawi.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini