Intime – Komisi IX DPR mendorong pelibatan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam pelaksanaan makan bergizi gratis (MBG). Pangkalnya, kian marak siswa yang keracuan ketika menyantap MBG sehingga memunculkan kejadian luar biasa (KLB) di berbagai daerah.
“Kita harus prihatin dengan 17 kasus KLB di 10 provinsi. Ini bentuk bahwa kita masih belum optimal dalam konteks keamanan pangan,” ucap anggota Komisi IX DPR, Edy Wuryanto, dalam rapat di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Kamis (15/5).
Menurutnya, maraknya kasus KLB akibat siswa keracunan MBG di beberapa provinsi menunjukkan kerja sama BPOM dan pelaksana program, Badan Gizi Nasional (BGN), belum maksimal. Padahal, regulasi keamanan pangan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 86 Tahun 2019.
“Pangan olahan siap saji itu menjadi urusan: pertama, menkes (menteri kesehatan); kedua, kepala Badan [Pengawas Obat dan Makanan]; dan ketiga, bupati/wali kota sesuai kewenangannya,” kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini.
“Faktanya, menkes tidak punya infrastruktur sampai ke daerah. Dan jika pemerintah daerah tidak menjalankan fungsi dekonsentrasi, maka pengawasan ini jadi lemah,” sambungnya.
Edy mengingatkan, BPOM memiliki otoritas untuk mengawasi seluruh proses, dari produksi, penyimpanan, hingga distribusi pangan. Oleh karena itu, seluruh tahapan harus diawasi agar sesuai standar.
“Semua standar—gedung, lantai, dapur, alat makan, penyimpanan makanan—harus dicek. Kalau tidak, lalu terjadi keracunan, siapa yang bertanggung jawab?” tanya dia.
Ia menegaskan, BPOM harus berani menggunakan kewenangannya, termasuk mengambil langkah strategis hingga menutup dapur yang tidak memenuhi standar. Apalagi, MBG disantap lebih dari 3,2 juta siswa setiap hari.
“Apakah karena ketakutan sesama lembaga negara? Enggak mungkin begitu. Ini menyangkut 3.000 orang setiap hari. Kalau Bapak tidak gunakan kewenangan ini, publik bisa kehilangan kepercayaan,” ujarnya mengingatkan.
“Kalau memang anggarannya tidak cukup untuk mengawasi 30.000 dapur, ya, disampaikan saja ke Komisi IX. Kita bisa dorong penambahan anggaran agar pengawasan lebih maksimal,” sambung Edy.
Sebelumnya, Kepala BPOM, Taruna Ikrar, mengungkapkan, pihaknya baru dilibatkan dalam program MBG ketika terjadi KLB. “Memang itu kenyataannya.”
Ikrar mengakui bahwa BPOM dan BGN telah menandatangani 13 nota kesepahaman (MoU) untuk turut serta mengawasi MBG. Namun, tidak semua nota kesepahaman dapat dilaksanakan BPOM.
Menurutnya, BPOM sejatinya dapat berperan lebih jauh dalam pelaksanaan MBG. Misalnya, mengecek pangan yang akan diproduksi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
“Contoh paling konkret untuk penyiapan. Kita punya tenaga, kita punya personel, kita punya keahlian untuk produksi pangan itu,” ungkapnya.