Koalisi Masyarakat Sipil Nilai Reformasi Sektor Keamanan Mandek, Desak Revisi UU Peradilan Militer

Intime – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyesalkan serangkaian putusan pengadilan terhadap anggota TNI yang dinilai menunjukkan masih kuatnya praktik impunitas dan lemahnya komitmen terhadap prinsip kesetaraan hukum di Indonesia.

“MA seharusnya menjadi benteng terakhir supremasi hukum, bukan bagian dari mekanisme impunitas,” demikian pernyataan resmi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Kamis (23/10).

Koalisi menyoroti beberapa putusan ringan terhadap prajurit TNI yang terbukti melakukan tindak pidana, termasuk kasus di Medan yang menimpa seorang pelajar SMP. Dalam kasus tersebut, Sertu Riza Pahlevi hanya dijatuhi hukuman 10 bulan penjara oleh Pengadilan Militer I-02 Medan setelah terbukti menganiaya korban hingga meninggal dunia.

“Putusan ini bahkan lebih ringan dari hukuman terhadap kasus pencurian. Kejanggalan dalam pertimbangan hakim, seperti menyebut korban tidak memiliki luka bekas sesuai keterangan saksi, kian memperkuat pandangan bahwa proses peradilan militer merupakan ruang tertutup yang tidak transparan dan tidak akuntabel,” tulis koalisi.

Koalisi menilai fenomena ini bukan peristiwa tunggal, melainkan bagian dari pola sistemik di mana hukum tampak tunduk pada pangkat dan seragam, bukan pada keadilan. Ketika pelaku berasal dari institusi militer, proses hukum kerap berjalan tertutup dan hukuman yang dijatuhkan tidak proporsional.

Alih-alih menegakkan disiplin dan profesionalisme, solidaritas korps (esprit de corps) justru sering disalahartikan sebagai alasan melindungi anggota dari tanggung jawab hukum. Pola tersebut, menurut Koalisi, telah menghambat upaya reformasi sektor keamanan yang sejak reformasi 1998 seharusnya menegakkan supremasi sipil di atas militer.

“Praktik impunitas seperti ini merupakan ancaman nyata terhadap prinsip negara hukum. Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, Pasal 65 ayat (2) sudah jelas menyebut bahwa prajurit yang melakukan tindak pidana umum harus diadili di peradilan umum, bukan militer,” tegas Koalisi.

Namun kenyataannya, ketentuan tersebut masih sering diabaikan. Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang telah lama digagas juga belum kunjung diselesaikan oleh pemerintah dan DPR.

Akibatnya, sistem peradilan militer tetap menjadi ruang tertutup yang melanggengkan ketimpangan keadilan bagi warga sipil korban kekerasan aparat.

Koalisi menegaskan, supremasi hukum hanya dapat terwujud bila seluruh warga negara diperlakukan setara di hadapan hukum dan jika institusi militer berada di bawah kontrol sipil yang efektif.

“Tanpa revisi UU Peradilan Militer, impunitas terhadap kejahatan anggota TNI akan terus terjadi dan menjadi preseden buruk bagi reformasi sektor keamanan,” tulis Koalisi.

Sebagai informasi, Mahkamah Agung (MA) baru-baru ini juga memicu polemik setelah mengubah vonis seumur hidup menjadi 15 tahun penjara terhadap dua mantan prajurit TNI AL, Bambang Apri Atmojo dan Akbar Adli, dalam kasus penembakan seorang pengusaha rental mobil.

MA juga menurunkan hukuman Rafsin Hermawan dari 4 tahun menjadi 3 tahun penjara tanpa penjelasan terbuka mengenai dasar pertimbangannya sesuatu yang kembali memperkuat kritik publik terhadap praktik impunitas di tubuh militer.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini