Intime – Koalisi Masyarakat Sipil menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) berpotensi mengancam demokrasi dan negara hukum. Meski terdapat sejumlah perubahan dari draft sebelumnya, substansi RUU dinilai masih bermasalah.
Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menyoroti tujuan RUU yang terlalu menekankan pendekatan state centric dengan mengutamakan kepentingan nasional, namun mengabaikan perlindungan individu.
“Padahal legislasi keamanan siber yang baik harus berorientasi pada perlindungan perangkat, jaringan, dan individu, bukan hanya negara,” ujarnya, Sabtu (4/10).
Ardi juga menilai RUU ini mencampuradukkan antara keamanan siber dan kejahatan siber, dengan munculnya pasal-pasal pidana baru hingga ancaman hukuman berat. Bahkan, terdapat ketentuan “makar di ruang siber” yang bisa dijatuhi hukuman hingga 20 tahun penjara.
Kekhawatiran lain adalah diakomodasinya peran TNI sebagai penyidik tindak pidana keamanan siber. Menurut Ardi, hal ini bertentangan dengan Pasal 30 UUD 1945 dan berpotensi melanggar prinsip civilian supremacy.
“Pelibatan militer dalam ranah hukum sipil tidak hanya inkonstitusional, tapi juga mengancam kebebasan sipil dan demokrasi,” tegasnya.
Koalisi menilai rumusan tersebut membuka ruang militerisasi ruang siber tanpa mekanisme akuntabilitas yang jelas. Dengan belum diperbaruinya UU Peradilan Militer, potensi abuse of power disebut kian besar dan berisiko mengekang hak asasi manusia.