Intime – Komisi II DPR RI tengah mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan Pemilu nasional dan daerah dengan jeda waktu 2 sampai 2,5 tahun.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima mengungkapkan, pihaknya melakukan simulasi model pemisahan pemilu secara horizontal dan vertikal.
“Pemisahan secara horizontal misalnya, membagi antara pemilu eksekutif dan legislatif. Pemilu eksekutif bisa dilakukan serentak mencakup pemilihan Presiden-Wakil Presiden dan Pilkada Provinsi serta Kabupaten/Kota. Sedangkan pemilu legislatif meliputi pemilihan DPR, DPD, dan DPRD, dilakukan dalam waktu yang juga serentak tapi berbeda tahunnya,” tutur Aria di Jakarta, Senin (7/7).
Sementara itu, lanjutnya, dalam pemisahan secara vertikal, pemilu tingkat pusat seperti Pilpres, DPR RI, dan DPD dilakukan serentak terlebih dahulu, disusul pemilu daerah mencakup Pilkada serta DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota di waktu yang berbeda.
“Kami terus mengkaji mana skema yang paling tepat dan paling realistis. Karena pengalaman kemarin, tumpang tindih antara Pilkada dengan Pileg dan Pilpres menghasilkan ekses yang cukup besar, bahkan muncul istilah Pilkada rasa Pilpres. Dampak kemenangan di Pilpres pun turut memengaruhi koalisi politik dalam Pilkada,” papar Aria.
Ia menambahkan bahwa Komisi II juga sempat mempertimbangkan gagasan untuk mendahulukan Pilkada dan pemilihan DPRD sebelum pemilu nasional.
“Semua opsi sedang kita kaji dan simulasikan agar ke depan pemilu dapat berjalan lebih efektif, efisien, dan tetap demokratis,” sambungnya.
Politikus PDI Perjuangan itu menjelaskan, saat ini melakukan belanja informasi dari berbagai kalangan seperti cendekiawan, budayawan, rohaniawan, politisi, hingga akademisi, baik dari dalam maupun luar kampus.
“Ini untuk mengevaluasi pelaksanaan Pemilu sebelumnya, baik Pilpres, Pileg, maupun Pilkada yang bahkan hingga kini belum seluruhnya selesai,” ujar Arya.
Ia menyebutkan bahwa setiap lima tahun sekali, Komisi II selalu mengevaluasi peraturan perundang-undangan terkait pemilu sebagai bagian dari penyempurnaan demokrasi nasional.
Evaluasi itu, lanjutnya, bisa bermuara pada perubahan, penambahan, maupun amandemen Undang-Undang Pemilu.
“Demokrasi memang tidak bisa langsung sempurna, tapi harus terus diperbaiki dari satu pemilu ke pemilu berikutnya,” pungkasnya.

