Intime – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan keprihatinan dan keberatan atas penetapan Jenderal Besar (Purn.) Soeharto sebagai pahlawan nasional yang diumumkan pada 10 November 2025.
Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menilai keputusan tersebut mencederai semangat Reformasi 1998 yang menuntut pemerintahan bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
“Penetapan ini tidak hanya menciderai cita-cita Reformasi, tetapi juga mengabaikan fakta sejarah dari berbagai pelanggaran HAM berat yang terjadi selama masa pemerintahan Soeharto pada 1966–1998,” ujar Anis dalam keterangan resminya, Rabu (12/11).
Anis menyebut, sejumlah peristiwa pelanggaran HAM berat seperti tragedi 1965/1966, penembakan misterius, peristiwa Talangsari, Tanjung Priok, serta penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh telah diselidiki Komnas HAM.
“Kesimpulan penyelidikan kami menyatakan peristiwa-peristiwa tersebut merupakan pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” tegasnya.
Komnas HAM juga menyoroti peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan. Berdasarkan hasil penyelidikan, tindakan-tindakan yang terjadi dalam kerusuhan tersebut meliputi pembunuhan, penyiksaan, perampasan kemerdekaan, perkosaan, dan persekusi.
“Presiden Joko Widodo bahkan telah menyatakan penyesalan dan mengakui 12 peristiwa pelanggaran HAM berat pada 2023. Karena itu, penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional jelas melukai para korban dan keluarganya yang hingga kini masih memperjuangkan hak-haknya,” ujar Anis.
Komnas HAM menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan tidak bisa dimaknai sebagai penghapusan tanggung jawab atas kejahatan HAM masa lalu.
“Pemerintah seharusnya berhati-hati dalam menetapkan pahlawan nasional, karena gelar ini menjadi teladan moral bangsa yang harus menjunjung nilai keadilan dan kemanusiaan,” tutup Anis.

