Jabatan politik semua ada waktunya. Bahkan, bisa dikatakan “kegetan”. Kapan pun bisa hilang. Namun, untuk jam terbang dan terlatih, memerlukan proses panjang. Di sini, tak akan tertukar, antara yang tangguh dan terlatih.
Achmad Rizki
Nama politikus Partai Gerindra, Mohamad Taufik, kembali menggetarkan panggung politik ibu kota dalam sepekan ini.
Bedanya, dua hari ini ia dipojokkan. Diserang. Ditekan dengan manuver politik teman separtai. Tak tanggung-tanggung, ia diusir. Dianggap tak berguna untuk partai. Serangan itu keras. Menghentak ruang publik.
Tapi, lagi-lagi pria kelahiran Jakarta, 3 Januari 1957, itu menunjukkan kelasnya. Ia tetap tenang. Tak ada raut kemarahan di wajahnya. Juga pada kata-katanya.
Raut wajahnya datar saja. Tenang, dingin, seperti biasanya. Seperti saat ia dipuja. Tak terbaca ia bahagia. Taufik menggigit kuat prinsip politiknya. Semua pertanyaan wartawan dijawabnya dengan santai.
Bahkan, deringan telepon genggamnya selalu diangkat saat wartawan meneleponnya. Tanpa terkecuali.
“Dalam politik itu semua kawan. Soal Desmond, biarkan saja. Dia sayang sama saya. Marahnya Desmond bentuk sayang sama saya. ha-ha-ha-ha.”
Kalimat itu sering ia sampaikan pada orang-orang terdekatnya. Termasuk saat ia mendapat serangan tajam dari teman separtai. Responsnya terhadap serangan politik menunjukkan ia benar-benar terlatih.
Orang tangguh belum tentu terlatih. Dalam terminologi militer, setiap prajurit mutlak harus tangguh karena didesain untuk siap menghadapi segala kondisi dan medan pertempuran.
Tetapi, hanya pasukan khusus yang terlatih karena ia didesain untuk siap sekaligus memenangkan pertempuran di segala kondisi dan medan tempur. Jalan panjang telah mengasah Taufik menjadi politisi terlatih.
Di sinilah dia teruji. Seorang pejuang politik tentu punya target politik secara organisasional. Misalnya, mengukur keberhasilan memenangkan pemilu legislatif (pileg) dengan hasil berapa banyak berhasil menempatkan wakil rakyat asal parpol tersebut.
Adalah naif ketika mengukur kinerja pemimpin organisasi parpol dengan seberapa banyak gedung tinggi dikuasai tanpa mampu memengaruhi kebijakan publik yang berdampak positif bagi konstituennya.
Artinya, pemilu kepala daerah pun menjadi ukuran partai untuk berpihak yang berhasil menempatkan kader terbaiknya ataupun orang pilihan parpolnya berhasil menjadi pemenang pemilu.
Mohamad Taufik sudah membuktikan ini. Mulai koalisi PDIP-Gerindra mengusung Jokowi-Ahok, melawan koalisi bongsor pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli. Pasangan ini dikomandoi langsung partai pemenang, Demokrat dengan perolehan 32 kursi DPRD DKI.
Lalu, Anies-Sandi diusung Gerindra-PKS. Kembali melawan petahana dengan dukung besar Ahok-Djarot. Lagi-lagi tumbang.
Sebab, atmosfir politik yang bisa berubah dengan cepat dan tak terduga, sudah ia rasakan sejak dulu. Keluwesan sikap politik Taufik menyebabkan ia bisa menerima semua watak pikiran siapa pun, baik di internal maupun di luar partainya. Lalu, bisa menyesuaikan dengan perubahan politik.
Artinya, perbedaan pandangan politik biasa saja. Juga bisa terjadi kapan saja. Yang jadi pembeda adalah sikap dalam menghadapi perbedaan itu. Saat ia mendapati serangan, ia tak tersulut. Tidak juga terprovokasi.
Jam terbang Taufik dalam dunia politik memang diakui banyak kalangan. Ia telah malang melintang dalam dunia politik yang penuh intrik dan gimik.
Ia melihat amukan kemarahan teman separtai sebagai bentuk lain dari kecintaan. Ia melihat jauh lebih dalam dari sekedar yang tampak di permukaan. Ia mencermati secara substansial daripada sekadar verbalitas.
Bukan itu saja. Ia juga ingin memberi contoh kepada junior-juniornya. Perbedaan pandangan politik sejatinya tak boleh menjadi penghalang pertukaran pemikiran. Tidak.
Menghadapi tekanan politik dari teman separtai, Taufik punya pesan khusus. Ia menukil pesan Bung Karno. “Warisi apinya, jangan abunya”. Warisi semangat menyala-nyala, bukan warisi permusuhan yang berkobar-kobar.
Tak layak rasanya kata-kata kasar terhadap mantan pemimpin partai yang telah menjadi besar di Jakarta. Berbagai kemajuan yang telah diperoleh selama kepemimpinannya dengan menggunakan ukuran dan logika sehat.
Mohamad Taufik tentu memahami kondisi sedang ditempa, dilebur, dan dibentuk. Dia pun menyadari betul bagaimana angin akan menerpanya.
Dan dia pun paham bagaimana berkontribusi dalam setiap kancah politik praktis yang sedang berjalan dan terlibat.
Dengan segala keterbatasan, dia berhasil membawa parpolnya memenangkan berbagai perhelatan politik di DKI Jakarta.