Korban Keracunan MBG Hanya Dipandang Angka Statistik, Prabowo Dinilai Minim Empati

Intime – Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang seolah memandang korban keracunan program Makan Bergizi Gratis (MBG) hanya dalam angka statistik semata menuai kritik tajam dari akademisi.

Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang, Cusdiawan menyayangkan sikap tersebut dan menilai itu menunjukkan minimnya empati Istana terhadap para korban.

“Hal tersebut menunjukkan ketidaksensitifan Presiden Prabowo terhadap para korban, dan ini bisa ditafsirkan sebagai sikap minim empati terhadap korban, dan untuk kesekiankalinya menunjukkan betapa buruknya komunikasi publik istana. Presiden Prabowo dan orang-orang di sekeliling istana harus lebih memperhatikan lagi psikologi publik terutama korban dan keluarganya,” kata Cusdiawan, Kamis (2/10).

Menurutnya, Presiden dan staf Istana perlu lebih memperhatikan psikologi publik, terutama korban dan keluarganya, dalam menyampaikan pernyataan di muka umum.

Pengamat kebijakan publik jebolan Pascasarjana Fisip Unpad ini menegaskan bahwa cara pandang terhadap manusia, apalagi yang menjadi korban suatu kebijakan, yang hanya sebatas perhitungan statistik adalah sangat keliru dan mencederai martabat manusia itu sendiri.

“Jadi sekali lagi, kuantifikasi terhadap korban yang dijadikan sebagai justifikasi bahwa kebijakan masih berjalan baik bukan hanya tindakan yang tidak bijak, bahkan bisa dibilang adalah tindakan yang dehumanisasi atau menciderai kemanusiaan itu sendiri,” tegasnya.

Cusdiawan mendesak pemerintah untuk segera melakukan otokritik dan membuat pernyataan publik yang menunjukkan kesediaan untuk melakukan evaluasi secara total terhadap pelaksanaan program MBG.

Selain itu, pemerintah juga diminta melakukan penyelidikan dan mengambil tindakan tegas jika ditemukan keteledoran atau kesengajaan yang mengancam keselamatan anak-anak.

“Pernyataan yang menunjukkan keterbukaan pemerintah untuk melakukan otokritik dan tidak lagi bersikap defensif, justru berpotensi lebih bisa mengundang simpati publik. Kita harus ingat, 1 nyawa saja yang terancam jelas sangat berharga,” kata dia.

Terkait masa depan program MBG, Cusdiawan mengusulkan agar program tersebut dihentikan sementara jika tidak ada jaminan keselamatan dan perbaikan tata kelola yang berarti.

Meskipun demikian, ia mengakui bahwa secara esensial, program MBG berpotensi menjadi program yang visioner karena bertujuan meningkatkan gizi anak dan dapat memiliki efek berjenjang dalam peningkatan perekonomian, asalkan pelaksanaannya memaksimalkan usaha menengah ke bawah dari masyarakat.

Namun, tantangan terbesar adalah kemampuan fiskal Indonesia. Oleh karena itu, Cusdiawan mengusulkan agar ke depannya program MBG diprioritaskan untuk anak yang berasal dari keluarga miskin.

“Secara teoretis, saya sendiri memahami social justice sebagai keberpihakan pada mereka yang tercecer dan berada pada posisi yang rentan,” pungkasnya.

Pemfokusan pada kelompok miskin ini, menurutnya, akan mengefisienkan anggaran, sehingga sebagian besar dana tetap bisa digunakan untuk memperbaiki ekosistem pendidikan, sekaligus mengefektifkan program MBG karena lebih tepat sasaran.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini