Intime – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama Partai Buruh menyatakan penolakan tegas terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengupahan yang tengah disiapkan pemerintah untuk menjadi dasar penetapan upah minimum tahun 2026.
Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menilai rancangan tersebut cacat proses, keliru secara substansi, dan berpotensi memiskinkan jutaan buruh Indonesia dalam jangka panjang.
Dalam pernyataan resmi di Jakarta, Rabu (3/12), Said Iqbal menegaskan bahwa pemerintah tidak pernah melakukan perundingan yang sungguh-sungguh dengan serikat buruh.
Menurutnya, apa yang disebut pemerintah sebagai dialog dalam forum Dewan Pengupahan maupun Tripartit Nasional tidak lebih dari sekadar sosialisasi sepihak.
“Pemerintah sudah punya sikap, menampung pikiran-pikiran Apindo, lalu menyosialisasikannya di Dewan Pengupahan dan Tripartit Nasional. Itu bukan berunding. Bahkan tidak ada perundingan dengan KSPI,” tegasnya.
KSPI, Partai Buruh, dan Koalisi Serikat Pekerja yang menaungi lebih dari 72 organisasi menyatakan RPP tersebut tidak layak dijadikan dasar penetapan upah minimum 2026 lantaran tidak pernah dicapai kesepakatan.
Iqbal menilai RPP Pengupahan mengulang konsep lama yang sudah ditolak buruh, yakni menggunakan indikator ‘konsumsi rata-rata buruh’ hasil survei BPS sebagaimana diatur dalam PP 51.
Ia menyebut pendekatan itu akan membuat berbagai pusat industri seperti Bekasi, Karawang, Tangerang Raya, Gresik, Surabaya, Batam, hingga Medan tidak mengalami kenaikan upah alias stagnan.
“Ini mengembalikan konsep PP 51 yang membuat kenaikan upah itu nol. Nol persen,” kata Iqbal.
Selain itu, KSPI menolak penggunaan formula alpha dengan rentang 0,3 hingga 0,8. Dengan kombinasi inflasi dan pertumbuhan ekonomi, nilai alpha 0,3 disebut hanya menghasilkan kenaikan upah sekitar 4,3 persen pada 2026. Dengan rata-rata UMP nasional Rp3,09 juta, kenaikan itu hanya menambah sekitar Rp120 ribu per bulan.
“Di Jenewa, harga satu kebab 19 USD. Kenaikan upah minimum Indonesia hanya 120 ribu di bawah 12 USD. Satu bulan kenaikannya tidak setara harga satu kebab. Keterlaluan,” ujarnya.
Iqbal menyebut penerapan alpha 0,3 akan mengunci buruh pada upah murah hingga 10–20 tahun ke depan.
Sebagai solusi, KSPI dan Partai Buruh mengusulkan empat alternatif, pertama kenaikan upah minimum tunggal 6,5 persen, melanjutkan kebijakan Presiden Prabowo tahun sebelumnya.
Kedua, kenaikan 6–7 persen, mempertimbangkan masukan pengusaha. Ketiga, rentang kenaikan 6,5–6,8 persen, selaras dengan target pertumbuhan ekonomi dan daya beli. Terakhir, jika formula alpha tetap digunakan, nilai alpha harus 0,7–0,9, bukan 0,3–0,8.
Menurut KSPI, tanpa kesepakatan dengan serikat buruh, pemerintah tidak memiliki dasar kuat untuk menetapkan RPP. Alternatifnya, regulasi cukup diterbitkan melalui Permenaker seperti tahun sebelumnya, dengan nilai alpha yang disepakati bersama.
Menjawab narasi pemerintah dan pengusaha yang menyebut kenaikan upah minimum memicu pemutusan hubungan kerja (PHK), Said Iqbal menganggapnya sebagai informasi menyesatkan.
“Itu bohong! Tidak ada satu pun di dunia ini kenaikan upah minimum menyebabkan PHK,” tegasnya.
Ia menyebut data PHK 2024–2025 menunjukkan penyebab utama PHK justru daya beli buruh yang turun karena upah stagnan hampir satu dekade. Selain itu, regulasi seperti Permendag 8/2024 yang membuka keran impor tekstil dan garmen murah turut memukul industri dalam negeri.
Menurut Iqbal, kenaikan upah yang layak justru mendorong konsumsi, meningkatkan produksi, dan membuka peluang kerja di berbagai sektor.
KSPI, Partai Buruh, dan puluhan organisasi buruh menyatakan siap melakukan aksi besar apabila pemerintah menetapkan penyesuaian upah minimum hanya 4,3 persen pada 8 Desember 2025. Aksi akan dimulai 7 Desember dan berlanjut secara nasional setelah pengumuman.
Bahkan, mogok nasional yang melibatkan hingga lima juta buruh juga dipertimbangkan jika pemerintah tetap bersikeras.
Iqbal memastikan seluruh aksi dilakukan secara damai, namun berlangsung besar dan serentak di berbagai wilayah Indonesia.

