Oleh: Tony Rosyid – Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) identik dengan Jokowi. Meski Jokowi tak terlibat langsung di struktur partai. Keberadaan Kaesang, putra bontot Jokowi yang menjadi ketum PSI boleh dibilang sebagai representasi Jokowi.
Pro-kontra Jokowi hingga purna tugas sebagai presiden ke-7 akan memberi warna bagi masa depan partai yang sedang dipertaruhkan PSI untuk pileg 2029. Apakah Jokowi masih sekuat dulu? atau lengsernya Jokowi dari keprabon diikuti dengan turunnya pengaruh elektoralnya? Jawaban atas pertanyaan ini memiliki konsekuensi terhadap nasib PSI kedepan.
Dipimpin Kaesang, PSI belum berhasil menembus pintu Senayan. Perolehan suara PSI masih jauh dari angka minimum Parliamentary Threshold.
Sebagian melihat bahwa kegagalan PSI ke Senayan karena peran Jokowi yang belum optimal. Pemilu 2019 dan 2024, Jokowi diidentifikasi sebagai kader PDIP. Melekat di dalam diri Jokowi adalah PDIP. Meski perpecahan di tubuh PDIP sudah mulai dibaca publik.
Saat ini, Jokowi jadi icon PSI. Peran Jokowi di PSI menjadi sangat sentral, karena diyakini masih memiliki basis pendukung militan. Tentu saja tak sekuat dulu ketika masih menjadi presiden. Karena itu, faktor Jokowi tidak bisa dijadikan andalan sebagai satu-satunya penentu nasib PSI.
Saat ini, PSI mencoba tampil dngan baju baru. Dimulai dengan perubahan logo. Apakah strategi ini akan mampu mengubah persepsi publik terhadap PSI?
Logo memang bisa memberi pengaruh mental bagi para kader. Logo juga bisa menjadi inspirasi jika memiliki makna yang mampu menyentuh sisi emosional.
Logo kepala banteng pada PDIP misalnya, punya makna yang kuat untuk sebuah keberanian dan keteguhan bagi perjuangan kader. Banteng dipahami sebagai simbol kekuatan dan ketangguhan di arena kompetisi. Simbol ini seringkali dinarasikan dalam setiap pidato ketum dan sekjen PDIP.
Bersamaan dengan logo yang menjadi simbol kekuatan dan keteguhan, PDIP juga menampung para kader yang militansinya seperti banteng. Berani dan tangguh dalam perjuangan.
Begitu juga gambar Ka’bah bagi kader PPP, setidaknya ikut mempengaruhi persepsi publik tentang arah perjuangan partai yang lahir 1973 lalu. Meski di pemilu 2024, PPP harus keluar dari Senayan karena dianggap kehilangan aura Ka’bahnya.
Bagaimana dengan PSI yang mengubah logonya menjadi gambar gajah? Apa makna gajah mampu mempengaruhi sisi emosional bagi para kader PSI? Apakah logo ini akan berhasil menjadi instrumen transformasi elektoral PSI?
Yang pasti, kebutuhan partai untuk menaikkan elektoral tidak hanya semata-mata bisa didongkrak menggunakan instrumen logo. Banyak variabel yang dibutuhkan oleh partai untuk melaju ke Senayan. Terutama faktor tokoh yang ada di elit partai menjadi instrumen paling penting.
Lihat Golkar. Era reformasi, pohon beringin yang menjadi logo partai Golkar sempat dianggap sebagai tempat bernaung untuk dosa-dosa Orde Baru. Tapi saat ini, tak ada lagi orang bicara pohon beringin.
Karena tidak punya pengaruh secara elektoral. Golkar tidak mengandalkan logo, tapi tokoh. Banyak aktifis hebat yang berjuang bersama Golkar. Inilah yang membuat Golkar mampu bertahan meski diterpa angin reformasi 1998 yang begitu dahsyat.
Selain kekuatan logistik dan ketepatan strategi, kehadiran sejumlah tokoh menjadi faktor penting, bahkan krusial dalam strategi partai. PAN adalah partai yang rajin belanja tokoh populer untuk dijadikan calon anggota DPR. Sukses ! Bagi PAN, belanja tokoh menjadi ritual lima tahunan yang efektif.
PSI masih diisi oleh nama-nama tokoh kontroversial, bahkan kontra-publik. Sejumlah elit PSI adalah orang-orang yang dianggap “beraliran kiri” dan terlanjur mendapat stigma negatif.
Jika tokoh-tokoh yang terlanjur dianggap kontra-publik dan mendapatkan stigma negatif ini masih berada di struktur PSI, maka akan sulit bagi PSI untuk mengubah persepsi publik.
Berulangkali ganti logo baru sekalipun kalau wajah-wajah elitnya masih orang-orang lama, ini tidak akan punya arti apa-apa. Logo baru dengan wajah lama akan sangat sulit menciptakan transformasi elektoral. Percuma logo baru kalau para tokohnya adalah wajah lama. Tetap saja yang akan diingat publik adalah wajah dengan dosa-dosa lama PSI.
Sebagaimana PPP, PBB, Hanura dan partai-partai yang tidak lagi masuk Senayan, umumnya tidak punya sikap tegas untuk menyingkirkan wajah-wajah lama yang dianggap bertanggung jawab terhadap kegagalan partai. Mereka yang dipersepsikan publik sebagai “icon kegagalan” partai butuh di-resuffle jika partai serius ingin membangun harapan baru.
Wajah-wajah lama tidak boleh terus menerus dibiarkan menjadi toxic yang menggerogoti elektoral partai. Menjauhkan dan membersihkan para toxic dari partai merupakan langkah mutlak yang dibutuhkan untuk membangun harapan. Bagi partai gagal, bukan perubahan logo yang diperlukan, tapi perombakan SDM yang dibutuhkan.

