Mahfud MD Sebut Persoalan Tambang Jadi Pemicu Konflik Internal PBNU

Intime – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD angkat bicara mengenai memanasnya konflik internal di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Mahfud menegaskan bahwa dirinya tidak berpihak pada siapa pun dan hanya berharap organisasi Islam terbesar di Indonesia itu tetap solid.

“Nah oleh sebab itu saya tidak mendukung siapa pun, saya hanya ingin NU itu selamat,” kata Mahfud di Jakarta, Selasa (25/11).

Ia mengungkapkan bahwa akar persoalan yang memicu ketegangan ini berkaitan dengan isu pengelolaan tambang.

“Asal muasalnya soal pengelolaan tambang, konflik di dalam soal pengelolaan tambang. Yang satu ingin ini, yang satu ingin itu,” ujarnya.

Mahfud memaparkan bahwa dinamika internal itu turut menyeret proses administrasi di tingkat kepengurusan. Ia mencontohkan ketidaksepakatan terkait penandatanganan surat oleh sejumlah petinggi NU.

“Katib Aam Syuriyah yang membantu Kiai Miftah itu tidak mau menandatangani suratnya Gus Miftah, Kiai Said. Nah ini Gus Yahya yang seharusnya membuat surat juga nggak mungkin ditandatangani oleh Gus Ipul, karena Gus Ipul ikut Kiai Miftah. Karena kan macet,” jelasnya.

Mahfud menyerukan agar seluruh pihak menahan diri, mengingat masa jabatan kepengurusan tinggal satu tahun.

“Sudahlah lupakan itu semua, bersatu kembali demi NU. Kita malu urusan tambang itu,” katanya.

Ia menilai publik tidak perlu memperkeruh keadaan dengan mencampuri konflik, karena alasan-alasan yang muncul telah disampaikan secara jelas—mulai dari polemik undangan tokoh Israel yang dinilai mendukung serangan ke Gaza hingga persoalan keuangan.

Namun menurut Mahfud, situasi tetap rumit karena Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf menolak keputusan pemberhentian dirinya oleh pengurus harian.

“Mas Yahya Staquf itu menolak pemberhentian itu karena katanya dia dipilih oleh Muktamar,” ungkap Mahfud.

Secara administratif, keputusan itu baru berada di level pengurus harian dan ditandatangani Kiai Miftah. Meski secara tradisi Rais Aam memiliki hak veto, Mahfud menegaskan bahwa kewenangan tersebut kini dibatasi AD/ART.

“Kalau Pak Yahya mau dengan rela menerima itu, masalahnya selesai. Tapi kalau melakukan perlawanan, itu ada masalah hukum,” pungkasnya.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini