Tragedi kerusuhan 27 Juli 1996 atau peristiwa Kudatuli merupakan peristiwa bersejarah yang kelam. Karena itu, harus diungkap siapa aktor intelektualnya.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto, menyatakan, pemerintah dan Komnas HAM harus membuka kembali kasus tersebut.
“DPP PDIP mengharapkan kepada Komnas HAM, pemerintah dan Kejaksaan Agung untuk betul-betul setelah peringatn ini, dapat dilakukan agar persitiwa kelam itu diungkapkan siapa aktor intelektual yang beada di balik serangan kantor PDI,” kata Hasto saat sebuah diskusi dalam rangka memperingati peristiwa Kudatuli di Jakarta, Kamis (21/7).
Dia menjelaskan, peristiwa Kudatuli, kantor DPP PDI (saat ini PDIP) di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri diserang secara brutal oleh massa pendukung Seorjadi, Ketua Umum PDI versi kongres Medan dibantu aparat polisi dan TNI. Tragedi berdarah itu terjadi di era rezim Soeharto.
“Peristiwa kelabu itu tidak merupakan sisi kelam di dalam sejarah peradaban kita, karena sebagai PDI yang sah berdasarkan ketentuan undang-undang diakui sebagai partai politik yang sah, tapi kemudian diakui lewat upaya, skenario dari pemerintahan,” ujar Hasto.
Hasto mengaku, tragedi Kudatuli masih terekam jelas dalam ingatannya. Lanjutnya, dia mengaku, masih bekerja di sebuah BUMN. Sebelum terjadi kerusuhan dan pertumpahan darah, ramai kader dan simpatisan PDI menyuarakan aspirasi melalui orasi-orasi dan mimbar bebas menentang kekuasaan otoriter Soeharto di Jalan Diponegoro.
“Suatu bentuk protes, gerakan moral, yang kemudian menjadi gerakan yang maha dahsyat. Jadi, suatu gerakan arus bawah menjadi titik balik dari kekauasaan otoriter yang dibangun dengan cara-cara yang tidak benar,” kata Hasto.
Hal senada disampaikan politikus PDIP lainnya, Ribka Tjiptaning. Menurutnya, ibarat penyakit, peristiwa Kudatuli seperti penyakit kronis yang belum sembuh sampai sekarang.
Sehari sebelumnya, Ribka Tjiptaning dan simpatisan PDIP mendatangi Komnas HAM untuk meminta penjelasan soal penyelesaian kasus itu.
“Sejarah harus tetap ditegakkan,” tutur Ribka dalam diskusi yang sama.
Menurut Ribka, peristiwa Kudatuli merupakan sebuah sejarah kelabu. Dia menyebut, Komnas HAM merilis resmi hanya lima orang meninggal. Padahal banyak yang hilang hingga kini tak tahu di mana rimbanya.
“Dulu saya pernah, ada seorang ibu-ibu yang sumbing. Melihat ada yang ditusuk bayonet. Ibu itu belakangan tidak ada lagi. Kemana? Ada juga teman saya hilang itu sampai sekarang tidak ketemu. Jangan sampai lupa 27 Juli itu,” ucap Ribka Tjiptaning.