Intime – Transformasi Jakarta sebagai kota global dinilai mengorbankan eksistensi masyarakat adat Betawi.
Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI), Dr. Rasminto menilai Jakarta semakin kehilangan jati diri akibat lemahnya pengakuan struktural terhadap budaya Betawi.
“Jakarta terus dibangun untuk jadi pusat ekonomi nasional dan kota global. Tapi, masyarakat Betawi justru makin terpinggirkan dari ruang dan peran strategisnya,” kata Rasminto dalam paparan pada acara Sarasehan III Kaukus Muda Betawi yang diselenggarakan di Ancol, Selasa (3/6).
Meski UU No. 2/2024 tentang Provinsi DKJ menyebut nilai lokal, Rasminto menilai aturan itu tak diikuti pelembagaan konkret.
“Budaya Betawi itu bukan dekorasi seremoni, tapi identitas historis Jakarta. Kalau tidak diperkuat secara kelembagaan, kita sedang menyaksikan pengikisan akar budaya secara sistematis,” tegasnya.
Ia memperingatkan risiko penggusuran sosial-budaya, seperti alih fungsi kampung jadi real estate, peminggiran Bahasa Betawi, serta lemahnya pijakan hukum lembaga adat.
Sebagai pakar geografi manusia Unisma, Rasminto menjelaskan bahwa ruang Jakarta kini dikuasai kepentingan global.
“Ruang itu bukan cuma fisik, tapi sosial dan ideologis. Ketika masyarakat lokal kehilangan ruang untuk memproduksi makna, mereka kehilangan kuasa,” ujarnya.
Ia juga mengutip konsep topophilia dari Yi-Fu Tuan dan right to the city dari David Harvey.
“Intinya, Jakarta seharusnya bukan hanya milik modal, tapi juga milik warganya—termasuk masyarakat Betawi yang membentuk sejarah kota ini”, jelasnya.
Rasminto pun membandingkan Jakarta dengan daerah lain yang telah mengakui dan menginstitusikan adat lokal.
“Yogyakarta punya Keraton, Sumatera Barat ada Kerapatan Adat Nagari, Kalimantan punya lembaga adat Dayak, dan Bali ada MDA nya. Tapi di Jakarta, lembaga adat Betawi seperti dianaktirikan”, katanya.
Di usia Jakarta yang hampir 5 abad, Rasminto menyerukan pentingnya pengakuan formal terhadap lembaga adat Betawi.
“Ini bukan sekadar nostalgia budaya, tapi soal keadilan sejarah dan ruang. Kota besar itu bukan cuma soal gedung tinggi, tapi bagaimana ia merawat identitas dan memberi tempat bagi warganya sendiri,” pungkasnya.