Oleh: Achmad Nur Hidayat (Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute)
Baru saja Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 821/5292/SJ yang memberikan wewenang pelaksana tugas (Plt), penjabat (Pj), maupun penjabat sementara (pjs) kepala daerah untuk memutasi hingga memberhentikan ASN tanpa perlu mendapatkan izin dari Kemendagri.
SE yang diteken oleh Mendagri Tito Karnavian pada 14 September 2022 itu ditujukan kepada gubernur, bupati/wali kota di seluruh Indonesia. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Benny Irwan membenarkan surat edaran tersebut.
Izin itu tertuang dalam poin nomor 4 surat edaran. Dalam poin itu, dijelaskan bahwa Mendagri memberikan persetujuan tertulis kepada plt, pj, dan pjs gubernur atau bupati atau wali kota untuk memberhentikan, memberikan sanksi, hingga memutasi pegawai.
Plt, Pjc dan Pjs wajib melaporkan sanksi tersebut ke Mendagri paling lambat tujuh hari kerja terhitung sejak dilakukannya tindakan kepegawaian tersebut. Adapun alasannya dari SE ini diterbitkan adalah rangka efisiensi serta efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah karena jika minta izin lagi dianggap akan memakan waktu yang lama.
Dikecualikan untuk pelantikan pejabat tinggi pratama dan madya tetap para plt ataupun pj dan pjs harus meminta persetujuan/izin tertulis kepada menteri dan mengantongi izin tertulis Mendagri.
Pemberian wewenang dalam SE ini tentu saja ngawur. SE yang dikeluarkan oleh Mendagri tersebut sangat menyalahi dari filosofi dan konsep bernegara dan pemerintahan yang baik karena Mendagri tidak boleh mengeluarkan aturan tersebut.
PLT kepala daerah hanya menggantikan untuk persoalan-persoalan administrasi bukan sovereignty (kedaulatan). Dalam alam demokrasi, Kedaulatan diperoleh melalui pemilihan umum langsung.
Sebagaimana menurut Pasal 18 ayat (4) UUD, Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) harus dipilih secara demokratis, artinya tentu saja dipilih oleh rakyat.
Berdasarkan pasal tersebut maka Kepala Daerah tidak boleh diangkat oleh siapapun sekalipun oleh Presiden, melainkan harus melalui mekanisme demokrasi. Artinya kedaulatan ada ditangan rakyat untuk memilih Kepala Daerah yang rakyat inginkan.
Dan pemilihan kepala daerah ini wajib dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Tidak boleh ditunda-tunda. Sebagaimana yang Seperti kemudian ditegaskan Pasal 3 PERPPU No 1/2014 yang disahkan oleh UU No 1/2015.
PERPPU No 1/2014 dan Pasal 3 bahwa Pilkada harus dilaksanakan setiap 5 tahun adalah koreksi dan pembatalan atas UU No 22/2014 yang menetapkan Kepala Daerah dipilih oleh anggota DPRD.
Dari hal-hal tersebut maka implikasinya jelas bahwa penunjukan PLT/PJ Kepala Daerah pun semestinya disikapi sebagai pelanggaran, sebab pengangkatan tersebut harus melalui mekanisme demokrasi melalui pilkada. Kita negara demokrasi jadi semestinya harus konsisten dengan itu.
PLT Kepala Daerah hanya bertugas menjalankan pemerintahan sampai 2024 hingga pilkada serentak dilakukan. Jadi PLT yang ditunjuk tidak boleh mengambil alih peran sovereignty yaitu melakukan program strategis sebagaimana layaknya kepala daerah hasil demokrasi termasuk menggonta ganti posisi strategis.
PLT harus melakukan tugas teknis administrasi dan berkomitmen melanjutkan tugas kepala daerah sebelumnya sesuai kesepakatan dengan DPRD.
Jika PLT/PJ Kepala Daerah yang ditugaskan diberikan mandat oleh pemimpin yang diatasnya maka hal ini juga akan sangat rentan bagi proses pemilihan kepala daerah selanjutnya sebab PLT/PJ yang ditunjuk dikhawatirkan melakukan penyalahgunaan kekuasaan dengan mengkondisikan segala sesuatu untuk kepentingan pemenangan partai politik tertentu.