Oleh: Agus Herta Sumarto, Dosen FEB UMB dan Ekonom INDEF
Masa kepemimpinan Anies Rasyid Baswedan sebagai Gubernur Provinsi DKI Jakarta hanya tinggal menghitung hari. Pada tanggal 16 Oktober 2022, Gubernur DKI Jakarta akan dijabat oleh Penjabat (Pj) Gubernur sampai dengan dilaksanakannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada tahun 2024 mendatang.
Sejatinya, prosesi peralihan jabatan dari pajabat kepada penjabat merupakan hal yang lumrah dan biasa terjadi dalam pemerintahan daerah baik kabupaten/kota maupun provinsi.
Ketika masa jabatan pejabat kepala daerah habis dan prosesi Pilkada belum bisa dilakukan maka untuk sementara waktu jabatan kepala daerah dijabat oleh penjabat sementara yang akan melaksanakan seluruh aktivitas administrasi pemerintahan sampai Pilkada dilaksanakan.
Namun hal yang lumrah tersebut menjadi berbeda pada kasus DKI Jakarta. Selain waktunya yang relatif panjang, posisi dan peran strategis Provinsi DKI Jakarta dalam ekonomi dan politik nasional menjadikan pemilihan figur Pj. Gubernur menjadi sangat krusial. Penjabat Gubernur nanti harus mampu menjalankan dan mempertahankan peran dan fungsi Provinsi DKI Jakarta dalam ekonomi politik nasional.
Provinsi DKI Jakarta selama ini menjadi pusat ekonomi nasional yang menjadikannya seperti organ jantung dalam tubuh manusia. Provinsi DKI Jakarta memompa peredaran uang ke seluruh provinsi di Indonesia.
Hal ini, mengakibatkan aktivitas perekonomian nasional sangat dipengaruhi oleh kinerja ekonomi Provinsi DKI Jakarta.
Kondisi dan stabilitas ekonomi dan politik di DKI Jakarta akan sangat memengaruhi stabilitas ekonomi dan politik nasional. Oleh karena itu, figur Pj. Gubernur DKI Jakarta nanti diharapkan mampu mengelola dinamika yang terjadi di DKI Jakarta baik dinamika politik dan sosial kemasyarakatan maupun dinamika ekonomi, investasi dan perdagangan.
Provinsi DKI Jakarta menjadi pusat pergerakan orang. Bahkan sampai saat ini Provinsi DKI Jakarta masih menjadi provinsi terpadat di Indonesia. Pada siang hari, jumlah orang yang beraktivitas di DKI Jakarta bisa mencapai 11 juta jiwa yang terdiri dari masyarakat yang tinggal di DKI Jakarta maupun masyarakat yang berasal dari daerah-daerah penyangga yang bekerja di DKI Jakarta.
Masyarakat di DKI Jakarta sangat heterogen, berasal dari berbagai latar belakang suku, ras, agama, kelompok, tingkat pendidikan, dan tingkat ekonomi yang berbeda-beda.
Heterogenitas tersebut menjadikan pola sikap dan pola pikir masyarakat di Provinsi DKI Jakarta sangat beragam. Oleh karena itu, tantangan pengelolaan pemerintahan di provinsi DKI Jakarta relatif lebih besar dibanding daerah lainnya.
Sejarah Kontestasi Politik
Penjabat Gubernur DKI Jakarta sepeninggal Anies memiliki tantangan yang jauh lebih besar. Bukan hanya mengelola administrasi pemerintahan dan membangun perekonomian yang lebih luas, Pj. Gubernur nanti harus bisa merangkul semua kelompok masyarakat yang selama lima tahun terakhir mulai terpolarisasi secara signifikan. Penjabat Gubernur harus bisa meredakan riak-riak perpecahan dari sisa kontestasi politik Pilkada DKI Jakarta lima tahun silam. Tidak boleh ada lagi istilah cebong dan kampret di dalam pergaulan dan dinamika sosial, ekonomi, dan politik di DKI Jakarta.
Oleh karena itu, Pj. Gubernur mendatang haruslah figur yang dapat diterima oleh semua kelompok dan lapisan masyarakat. Figur yang dipercaya oleh semua masyarakat mampu membangun kembali persatuan yang sempat terkoyak karena kontestasi politik identitas yang terlalu kuat. Figur tengah yang tidak condong ke salah satu kelompok sehingga mampu melaksanakan dan menjaga proses Pilkada mendatang dengan baik, jujur, dan adil.
Bersama Membangun Jakarta
Provinsi DKI Jakarta adalah barometer Indonesia. Provinsi DKI Jakarta harus mampu membawa kesejukan sampai ke seluruh pelosok Indonesia. Provinsi DKI Jakarta harus bisa menjadi stabilisator bagi perekonomian nasional yang sedang diterjang badai pandemi Covid-19.
Bahkan, DKI Jakarta harus bisa menjadi bumper yang mampu menggerakkan perekonomian nasional di tengah kondisi yang serba sulit. Namun, perekonomian yang kuat tidak mungkin tercipta jika stabilitas sosial kemasyarakatan tidak terbangun dengan baik.
Membangun ekonomi yang kuat diperlukan dukungan dan peran serta seluruh elemen masyarakat. Semua elemen masyarakat harus bahu membahu dan saling membantu demi terwujudnya perekonomian yang mandiri, kuat, adil, dan merata.
Perbedaan pilihan politik tidak boleh menjadi alasan untuk saling membenci dan menghancurkan. Perbedaan pandangan, pendapat, dan pilihan politik merupakan hal yang wajar terjadi di negara yang menganut sistem politik demokratis.
Oleh karena itu, riakan yang terjadi pada kontestasi politik tahun 2017 silam tidak boleh terulang apalagi membesar karena akan menghambat proses pembangunan di DKI Jakarta. Kontestasi politik yang akan dilaksanakan pada tahun 2024 mendatang tidak boleh lagi mengandalkan perkubuan sebagaimana yang terjadi pada tahun 2017 silam. Pesta politik di DKI Jakarta pada tahun 2024 harus membawa angin segar dan harapan besar untuk pembangunan ekonomi Jakarta yang lebih baik.
Pilkada di DKI Jakarta harus mampu mengirimkan signal positif yang mampu mempersatukan seluruh elemen bangsa. Signal yang mampu memberikan harapan positif kepada pada investor dan pelaku ekonomi bahwa Indonesia akan pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat.