Menunggang Bencana, Ketika Tragedi Kemanusiaan Dijadikan Alat Pencitraan dan Kepentingan Politik

Intime – Pemerhati Sosial dan Kebangsaan Abdul Rohman Sukardi menyoroti maraknya praktik eksploitasi bencana atau disaster exploitation yang kerap muncul di tengah tragedi kemanusiaan.

Menurut dia, bencana sejatinya merupakan ruang sunyi bagi empati, kerja bersama, dan keikhlasan, bukan arena pencitraan maupun pertarungan narasi.

“Bencana hadir tanpa memilih korban dan tanpa memberi panggung bagi siapa pun. Namun dalam realitas sosial kita, tragedi kolektif sering kali dimanfaatkan untuk kepentingan non-kemanusiaan,” ujar Abdul Rohman dalam keterangannya.

Ia menjelaskan, penunggang bencana umumnya membangun eksistensi dengan mengecilkan peran pihak lain, terutama negara. Pemerintah kerap digambarkan abai atau lamban, sementara individu atau kelompok tertentu diposisikan sebagai satu-satunya harapan.

Padahal, berdasarkan laporan United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNDRR), keberhasilan penanganan bencana hampir selalu bergantung pada kerja kolaboratif multipihak.

Dalam sejumlah bencana besar, seperti banjir bandang di Aceh, narasi yang menihilkan peran negara kerap mengemuka. Padahal, negara memegang peran krusial mulai dari penetapan status darurat, pembukaan akses logistik, hingga rekonstruksi dan rehabilitasi jangka panjang.

Abdul Rohman menyebut, motif penunggang bencana setidaknya terbagi dua, yakni popularitas dan politik. Bencana menyediakan emosi ekstrem yang mudah dikapitalisasi dalam ekonomi perhatian. Sementara secara politik, situasi krisis menjadi momen rapuh legitimasi negara yang rawan dimanfaatkan untuk menggeser kepercayaan publik.

“Solidaritas sering kali dikorbankan demi panggung dan simpati,” katanya.

Ia menambahkan, penunggang bencana jarang membicarakan solusi jangka panjang, mitigasi risiko, atau perbaikan tata kelola kebencanaan. Fokus mereka hanya pada sorotan sesaat. Setelah perhatian publik mereda, warga terdampak ditinggalkan dengan persoalan yang sama, bahkan lebih berat.

Menurut Abdul Rohman, tindakan tersebut merupakan bentuk instrumentalisasi penderitaan, yakni menjadikan korban sebagai objek demi tujuan lain.

Ia menegaskan, bencana tidak membutuhkan pahlawan yang gemar berteriak, melainkan manusia yang mau bekerja setia membersamai korban dalam proses panjang pemulihan, tanpa kamera dan tanpa klaim.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini