Menyambut 50 Tahun PPP, Menakar Peluang Partai pada 2024

Oleh Usni Hasanudin, Wakil Ketua Umum PN AMK dan Wakil Sekretaris Majelis Pakar DPP PPP

Kelas Sekolah Ramadhan yang digelar Sekolah Politik PPP pada Rabu, 20 April 2022, mengangkat tema menarik, “Menakar Capres 2024”. Tema menantang bagi PPP untuk menjadi bagian kontestasi sebagai partai Islam tertua.

Empat puluh sembilan tahun sudah usia Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pada 5 Januari 2023 menjadi tahun emas bagi PPP, setengah abad sudah PPP mewarnai perpolitikan di Indonesia. Ragam bentuk perjuangan dan zaman berbeda, kualitas tokoh dapat dibandingkan dari banyaknya referensi tertulis dalam kebijakan bernegara maupun sepak terjang tokoh di level umat.

Memasuki usia setangah abad, PPP mengalami keterpurukan pada tahun 2019. Secara sadar, memang iklim politik saat ini berbeda dengan masa ketika PPP sebagai kontestan pemilu yang hanya diikuti oleh dua partai dan satu golongan karya. Saya menyebutnya masa di mana PPP dibesarkan oleh pemerintah sebagai penguat legitimasi kekuasaan pemerintah meskipun setiap menjelang kontestasi pemilu, PPP seakan menjadi rival utama pemerintah.

Perbedaan lain yang sangat mencolok, PPP pada zaman Orde Baru tidak akan dibiarkan mengambil alih kekuasaan. PPP hanya sebatas ornamen demokrasi, sebatas mempertahankan eksistensi, serta mempertahankan sistem yang seakan demokrasi. PPP tidak akan diberi kekuasaan, PPP juga tidak akan dibiarkan tidak menjadi bagian dari politik nasional.

Berbeda ketika terjadi perubahan, menjamurnya partai politik, tumbuh lalu hilang, begitulah seterusnya selama Indonesia belum memasuki kemapanan dalam mengonsolidasikan sistem demokrasinya. Di sinilah posisi PPP dengan banyak partai politik lain memiliki orientasi yang sama untuk memperebutkan kekuasaan. Di sisi lain, resource kekuasaan terbatas.

Empat pemilu sebagai seleksi politik sudah terjadi. Tidak semua partai dapat lolos seleksi sebagai bagian dari kekuasaan, yang kemudian hilang.

Anggaplah tulisan ini sebagai bentuk menyambut kemenangan PPP, pada suasana bulan penuh keberkahan, semua doa dapat terkabulkan. Keyakinan pada impossible hand dalam politik PPP porsinya harus dikurangi. Opsi utama yang harus dilakukan adalah memaksimalkan potensi struktural, kultural partai, dan kebijakan mengusung calon presiden karena akan menentukan keberhasilan PPP pada tahun 2024.

Potensi Struktural

Memahami struktur PPP memang melelahkan. Fondasi yang terbangun dari ragam aliran Islam politik. Ragam kepentingan eksternal juga selalu ambil bagian. Belum lagi setiap permusyawaratan tiap tingkatan ragam persoalan selalu menyertai. Itulah wajah struktural PPP sejak berdiri sampai saat ini. Di sisi lain, menjadi corak khusus bahwa PPP dengan Islamnya mampu menaungi bahkan mempersatukan tekad Islam politik di Indonesia yang jauh lebih moderat, tetapi formalistis dalam perjuangan.

Bertahannya PPP sebagai partai Islam tidak terlepas dari potensi strutural yang dimiliki. Dalam konteks struktural dapat dipisahkan menjadi dua bagian berbeda yang keduanya saling terkait, mendukung dan menentukan pada setiap kontestasi pemilu, terlebih menghadapi pemilihan umum 2024, yaitu setruktural formal dan nonformal atau dengan bahasa lain suprastruktur dan infrastruktur PPP.

Suprastruktur maupun infrastruktur politik PPP meskipun berbeda dalam fungsi dan perannya, tetapi memiliki keterkaitan dan keterikatan satu sama lain. Suprastruktur memiliki formalitas secara kelembagaan, seperti DPP, DPW, DPC, sampai tingkatan terendah. Begitupun dengan ditambah badan otonom yang tertuang pada AD/ART akan tetapi diperlukan kemampuan aparatus strukturalnya yang mampu mengatur segala hal demi tercapainya tujuan politik PPP pada tahun 2024.

Di sisi lain, tujuan tersebut tidak akan bisa maksimal ketika tujuan infrastruktur politik diabaikan. Mereka berada di luar struktur, tetapi mampu dan menentukan dalam memengaruhi berjalannya suprastruktur.

Keseimbangan keduanya harus terjaga. Kedua potensi yang tidak bisa saling tinggal sebagai potensi utama pemenangan PPP pada Pemilu 2024. Yang suprastruktur jangan seakan akan penentu, tidak mau mendengar mereka yang tidak dalam struktur karena dalam kontestasi 2024, peran infrastruktur sangat dominan ketimbang suprastruktur.

Basis Kultural

Fokus pada pemilih pemula memang penting, tetapi jauh lebih signifikan basis kultural PPP dimaksimalkan. Menjauh dari basis kultural, pengalaman Pemilu 2019 akan terulang bagi PPP pada tahun 2024. Siapa basis kultural yang harus dimaksimalkan? Saya menyebutnya mereka adalah pemilih tetap dan memiliki emosional kuat dengan PPP.

Setidaknya ada tiga basis kultural yang harus dimaksimalkan oleh PPP. Basis kultural pendiri PPP yang meliputi empat basis masa Islam, yaitu NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam (SI), dan Perti. Keempatnya memiliki emosional sangat kuat dengan PPP, tidak harus menjadi pengurus, tetapi mereka tetap konstituen PPP.

Lingkungan pesantren dan majelis taklim. Kepercayaan keduanya pada PPP berdasarkan pada perjuangan PPP dalam memperjuangkan aspirasi politik Islamnya. Ulama-ulama menjadi aparatus ideologi, penjaga, sekaligus mobilisasi suara umat Islam.

Terakhir, masjid. Masjid menjadi tempat berkumpulnya suprastruktur, infrastruktur, dan umat Islam. Bahkan, menjadi wadah bersama dalam merumuskan perjuangan PPP di tingkat grassroot.

Keberpihakan pada Islam atau kebijakan PPP harus pada politik umat Islam. Inilah yang hilang dari PPP selama dua pemilu sebelumnya, yang menyebabkan PPP tidak lagi menjadi pilihan umat Islam.

Terlepas dari itu, lembaga konsultan politik hanyalah bersifat supporting system, mengisi ruang yang tidak dapat ditangani oleh PPP, ruang yang berfungsi merangsang kegirahan politik PPP.

Lembaga konsultan hanya memberikan pertimbangan dalam mengambil kebijakan, selebihnya menjadi domain struktur partai. Kebijakan yang sangat menentukan ketika memilih dengan siapa PPP berkoalisi dan siapa calon yang diusung.

Selama ini, PPP selalu gagal dalam pemenangan legislatif, tetapi gemilang dalam mengusung koalisinya. Alhasil, menurun dalam raihan suara dan kursi.

Semua kembali pada pengambil kebijakan, mau di bawa ke mana PPP? Apakah ingin menang pileg dan menang pilpres dengan perolehan kursi meningkat? Maka, diperlukan analisis berbasis keinginan umat Islam. Atau perolehan suara dan kursi meningkat, tetapi kalah dalam pilpres? Inilah diperlukan prinsip idealisme tanpa harus menghitung persentase kader dalam kabinet.

Kemudian, perolehan suara dan kursi menurun, tetapi menang pilpres? Kebijakan mencerminkan pragmatisme segelintir pemangku kebijakan tanpa harus memperimbangan keberlangsungan PPP dan semoga tidak terjadi perolehan kursi menurun atau tidak lolos PT dan kalah dalam mengusung pilpres. Silakan simpulkan dan renungkan. Selamat menyambut kemenangan.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini