Intime – Peneliti Merdeka Institute, Arief Gunawan, menegaskan bahwa peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia setiap 10 Desember seharusnya tidak berhenti pada seremoni kosong atau sekadar gimik untuk menarik perhatian publik.
Menurutnya, momentum ini justru menjadi pengingat penting bagi negara untuk melihat kembali nasib warga yang hak-haknya terlanggar dan suaranya dibungkam.
“Secara maknawi dan jujur, momentum ini seharusnya kita gunakan untuk mengingat mereka yang suaranya dibungkam, haknya dirampas, dan keadilan yang tak kunjung datang,” ujar Arief dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (9/12).
Ia menambahkan, Indonesia membutuhkan ruang aman bagi warga, bukan pengabaian akibat politisasi hukum yang justru memperlemah perlindungan HAM.
Arief menyoroti pernyataan Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, yang baru-baru ini mengingatkan adanya sekitar 400 orang berstatus tersangka yang kasus hukumnya tidak pernah diproses lebih lanjut.
Kata dia, mereka tidak dibawa ke meja hijau, namun juga tidak dihentikan perkaranya. Kondisi menggantung ini, lanjut Arief, merupakan bentuk pelanggaran HAM karena meniadakan kepastian hukum serta menjadikan mereka sasaran opini publik tanpa kejelasan status.
Ia mengingatkan bahwa konstitusi Indonesia secara tegas menjamin kebebasan dan perlakuan yang adil di hadapan hukum. Pasal 28E dan Pasal 28I UUD 1945 menegaskan kewajiban negara dalam melindungi hak asasi manusia.
Sementara, Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 mengukuhkan Indonesia sebagai negara hukum yang harus menghadirkan keadilan, kepastian, dan kesetaraan hukum bagi seluruh warga.
Arief juga menyitir prinsip universal justice delayed is justice denied, bahwa keadilan yang ditunda sesungguhnya adalah bentuk ketidakadilan. Ia menambahkan the sunrise and sunset principle sebagai standar universal yang menuntut kepastian dan percepatan proses hukum.
“Pertanyaannya, sudah adilkah negara membiarkan 400 warga hidup dalam ketidakpastian hukum tanpa penyelesaian perkara?” tanya Arief.

