Intime – Langkah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan adanya Pemilu tingkat nasional dan Pemilu lokal terus menuai sorotan.
Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin menilai MK telah bertransformasi tidak hanya sekadar menjadi penguji dan penafsir konstitusi (the guardian of constitution) tetapi juga menjadi lembaga ketiga pembentuk undang-undang setelah Pemerintah dan DPR.
“Perlu kita pahami bersama bahwa MK mempunyai peran sebagai negative legislator, bukan positive legislator. Pertanyaannya kemudian ketika MK dengan dalih menjaga agar Konstitusi tetap adaptif dengan dinamika jaman (living constitution) lalu bisa bertransformasi sebagai lembaga ketiga setelah presiden dan DPR menjadi perumus undang-undang?,” ujar Khozin dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (6/7).
Khozin mengingatkan harus ada penegasan bersama terkait fungsi dan peran MK ini. Menurutnya jangan sampai MK ini dengan berbagai putusan kontroversialnya menjadi ruang para pihak untuk menjadi jalan pintas menolak setiap produk perundang-undangan.
“Pembentukan produk perundangan ini kan high cost secara biaya, high cost secara tenaga, high cost secara waktu dan sebagainya. Nah jangan sampai hal ini tidak ada kepastian hukum. Kalau memang MK bertransformasi menjadi lembaga ketiga perumus UU ya sudah kita lakukan constitusional enginering terkait tugas pokok dan tusi dari MK,” ujarnya.
Dia mengungkapkan dalam putusan 135/2025 tentang keserentakan Pemilu, MK telah melakukan berbagai langkah paradoks. Menurutnya putusan 135/2025 jika disandingkan dengan putusan sebelumnya nomor 55/2019 tentang hal yang sama, ada beberapa kontradiksi. Di antaranya terkait pemilihan satu opsi dari enam opsi model keserentakan Pemilu yang diputuskan sebelumnya.
“Selain itu dalam keputusan 55/2019 MK dengan tegas menolak memberikan putusan mengenai model keserentakan karena menjadi tugas dari pembuat UU tapi di keputusan 135/2025 malah memerintahkan adanya Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal,” ujar Politisi Fraksi PKB ini.
Lebih jauh, Khozin menilai pemerintah tidak bisa langsung melaksanakan putusan MK mengenai pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu daerah. Menurutnya jika hal terjadi maka putusan MK dalam menjaga konstitusi justru memicu inkonsitusionalitas.
“Secara implementasi, putusan ini tidak secara otomatis bisa dilaksanakan dalam hal ini oleh pemerintah karena berimplikasi terhadap beberapa norma. Terutama yang sering kita pahami di dalam Pasal 22E ayat 1 maupun ayat 2 dan Pasal 18 ayat 3, dan itu sudah jelas di sana tertulis bahwa pelaksanaan pemilu itu dilaksanakan 5 tahun sekali,” ujar Khozin.
“Terus kita mau tafsiri seperti apa lagi? Kalau ini kemudian dilaksanakan, jangan sampai kemudian perintah konstitusional dilaksanakan dengan cara menabrak konstitusi. Ini kan enggak akan berujung nanti. Tidak ada ruang kepastian hukum di sini,” pungkasnya