Intime – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan gugatan terkait Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Gugatan itu terkait pembatasan masa jabatan Kapolri maksimal lima tahun.
Permohonan tersebut diajukan oleh Syukur Destieli Gulo, Christian Adrianus Sihite, dan Devita Analisandra yang berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa dengan Perkara Nomor 19/PUU-XXIII/2025.
Hakim Konstitusi Arsul Sani menjelaskan, jabatan Kapolri adalah jabatan karier profesional yang memiliki batas masa jabatan tetapi tidak ditentukan secara periodik dan tidak secara otomatis berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan presiden.
“Artinya, jabatan Kapolri memiliki batas waktu dan dapat diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan evaluasi presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” kata Arsul saat membacakan putusan, Kamis (13/11).
Arsul mengatakan tidak dicantumkannya frasa “setingkat menteri” dalam UU 2/2002, menurut Mahkamah, pembentuk undang-undang telah memaknai penempatan posisi Polri dalam sistem ketatanegaraan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
Dengan memberi label “setingkat menteri”, lanjut mantan kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu, kepentingan politik presiden akan dominan menentukan seorang Kapolri.
Sementara, secara konstitusional, Pasal 30 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 secara expressis verbis (cetho welo-welo) menyatakan Polri sebagai alat negara. Sebagai alat negara, Polri harus mampu menempatkan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum di atas kepentingan semua golongan termasuk di atas kepentingan presiden.
“Artinya, dengan memosisikan jabatan Kapolri menjadi setingkat menteri, Kapolri secara otomatis menjadi anggota kabinet, jelas berpotensi mereduksi posisi Polri sebagai alat negara,” kata Arsul.
Selain itu, Arsul mengatakan dalam batas penaralan yang wajar untuk menghindari kekosongan hukum, maka Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU 2/2002 masih relevan untuk dipertahankan. Karena itu, upaya para Pemohon untuk menempatkan substansi Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU 2/2002 terutama pada petitum angka 2 huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f telah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

