Pernyataan Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, tentang pengelolaan tambah oleh ormas keagamaan tak perlu spesialisasi karena cukup diserahkan kepada kontraktor dinilai ngawur dan berpotensi menabrak regulasi. Bahkan, dianggap sebagai kerancuan dalam mengelola negara.
“Harusnya kalau ada yang tidak beres di tataran implementasi pertambangan, diperbaiki oleh pemerintah, bukan menjadi justifikasi untuk direplikasi dan diperbanyak. Kalau ini dilakukan, kerusakannya akan semakin meluas,” kata anggota Komisi VII DPR, Mulyanto, dalam keterangannya.
Ia mengingatkan, kaidah good governance mengatur tugas dan fungsi masing-masing sektor dalam mengelola negara, seperti publik-pemerintah, ekonomi, dan kemasyarakatan. Jika fungsi ketiga sektor negara tersebut tumpang tindih, maka pengelolaan negara makin semrawut.
“Bayangkan saja kalau TNI atau polisi secara kelembagaan ikut cawe-cawe di dunia tambang. Atau kementerian tertentu ikut bisnis tambang. Kalau ini terjadi, dapat diperkirakan urusan tambang akan semakin amburadul,” tegasnya.
“Menegakkan pengawasan tambang ilegal yang dibeking aparat saja belum bisa dituntaskan, masa mau nambah masalah baru dengan mengizinkan ormas secara kelembagaan mengelola tambang?” imbuhnya mengkritik.
Lebih jauh, Mulyanto memperkirakan program bagi-bagi IUP kepada ormas juga akan berdampak kurang baik bagi ormas itu sendiri. Sebab, bakal memengaruhi objektivitas pelaksanaan visi misi, soliditas, hingga governansi organisasi.
“Bisa rusak ormas-ormas keagamaan dalam mengawal hati nurani kita,” jelas politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Diketahui, ormas keagamaan kini diperkenankan mendapatkan izin tambang seiring terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024. Bahkan, Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, memastikan segera meneken izin usaha pertambangan (IUP) untuk Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).