Pakar Soroti Lemahnya Data Kesehatan dan Minta Pemerintah Perkuat Upaya Preventif

Intime – Pakar Kesehatan Prof. Dr. dr. Noroyono Wibowo, Sp.OG, Subsp.KFM menegaskan pentingnya penguatan kebijakan preventif dan promotif dalam upaya meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia.

Menurutnya, pemerintah selama ini terlalu berfokus pada penanganan kuratif tanpa didukung data komprehensif mengenai kondisi kesehatan di setiap provinsi.

“Pola pikirnya harus diubah. Selama ini lebih banyak kuratif. Karena tak pernah ada upaya mengumpulkan data dari setiap provinsi terkait kondisi kesehatan warga di sana. Pola intake, nutrisi, itu tidak pernah ada. Padahal nutrisi berpengaruh pada kesehatan masyarakat di provinsi tersebut,” kata Prof Bowo di Jakarta, Minggu (16/11).

Ia menilai, pemerintah seharusnya memetakan pola makan masyarakat di tiap daerah sebagai acuan menganalisis pola penyakit. Dengan data itu, kata dia, pemerintah dapat menentukan strategi pencegahan yang tepat sesuai karakteristik wilayah.

“Dari semua data itu nantinya bisa diolah untuk menemukan pola kesakitan atau pola penyakit. Sehingga bisa diupayakan cara pencegahannya seperti apa,” ujarnya.

Meski ada sejumlah survei kesehatan yang sudah dilakukan, Prof Bowo menilai penelitian tersebut belum cukup mendalam. Ia menyebut belum adanya penggunaan marker kesehatan yang memadai sebagai acuan ilmiah.

“Survei yang ada belum intens dan belum menggunakan marker adekuat. Menteri Kesehatan tidak bisa bekerja sendiri. Ia harus melobi Kementerian Pertanian soal produksi pangan, kemudian Kementerian PUPR terkait infrastruktur, air, dan sebagainya. Kesehatan itu tak bisa berdiri sendiri. Harus sinergi kementerian lain,” tegasnya.

Prof Bowo mencontohkan mahalnya harga daging yang mencapai Rp150.000 per kilogram sebagai faktor yang menyulitkan masyarakat mengakses protein hewani. Menurutnya, Kementerian Kesehatan harus berkoordinasi dengan kementerian terkait untuk memastikan harga pangan terjangkau.

“Jangan masyarakat hanya disuruh membeli protein murah. Seharusnya Menkes melobi Mendag dan Mentan agar harga daging bisa turun jadi Rp30.000 per kilo. Dan ini berlaku bukan hanya daging, tapi seluruh pangan,” ujarnya.

Ia menilai, jika harga pangan terjangkau, masyarakat otomatis dapat memenuhi kebutuhan nutrisi tanpa harus bergantung pada berbagai program bantuan sosial.

“Gak perlu ada bansos kalau pangannya terjangkau.Semua ibu pasti ingin memberi makanan terbaik untuk anaknya. Kalau daging 30 ribu, telur 10 ribu, dan UMR 4 juta, pasti cukup. Pemerintah harus memperbaiki skema yang ada,” lanjutnya.

Prof Bowo menegaskan bahwa strategi pembangunan kesehatan harus disusun secara jangka panjang dengan melibatkan lintas kementerian. Dengan data yang akurat, Kementerian Kesehatan dapat menentukan kebutuhan pangan, infrastruktur, dan layanan kesehatan tiap daerah.

Ia juga mendorong penguatan akses terhadap pangan segar bagi masyarakat. “Kemendag bisa diminta memastikan tiap kelurahan memiliki pasar sebagai pusat pangan segar. PU bangun akses ke rumah sakit. Semua harus berjalan bersama,” tuturnya.

Di akhir pernyataannya, Prof Bowo mengakui bahwa mewujudkan kesehatan masyarakat yang paripurna bukan hal mudah. Namun menurutnya, hal itu dapat dicapai jika pemerintah memiliki komitmen dan strategi yang jelas.

“Kalau dibikin program jangka pendek dan jangka panjangnya, dengan komitmen tegas, harusnya bisa,” pungkasnya.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini