Pakar Sosiologi IPB Ungkap Dampak Sosial Pascabencana Banjir dan Longsor di Sumatera

Intime – Pakar Sosiologi Pedesaan IPB University, Dr Ivanovich Agusta, menyoroti dampak sosial yang kerap terabaikan dalam penanganan bencana, terutama setelah banjir dan longsor melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Menurutnya, perhatian publik selama ini lebih terfokus pada kerusakan fisik, padahal bencana juga merusak struktur sosial yang menjadi fondasi kehidupan desa.

“Bencana bukan hanya merusak fisik rumah, tetapi juga merusak sistem sosial yang menjaga kerekatan dan identitas desa,” ujar Ivanovich dalam keterangan tertulisnya, Rabu (10/12).

Ia menjelaskan, pascabencana, masyarakat desa mengalami disrupsi sosial secara mendadak. Salah satu dampak utamanya adalah dislokasi sosial, yaitu hilangnya ruang-ruang komunal seperti balai desa, musala, pasar, dan akses jalan yang selama ini menjadi pusat interaksi antarwarga.

“Ketika ruang-ruang itu hilang, ritme kehidupan desa terputus. Interaksi melemah, komunikasi terganggu, dan solidaritas sosial ikut teruji,” ucapnya.

Selain itu, tekanan psikososial berupa rasa takut, trauma, dan ketidakpastian juga melemahkan semangat kerja serta partisipasi warga dalam kegiatan sosial.

Menurut Ivanovich, berbagai pranata sosial desa terganggu, mulai dari jadwal tanam petani, kegiatan kelompok tani, arisan, posyandu, hingga aktivitas keagamaan. Semua itu terhenti sementara akibat kerusakan infrastruktur desa dan terbatasnya akses.

“Terhentinya pranata sosial ini sangat melemahkan integrasi masyarakat desa. Padahal di situlah kekuatan sosial warga selama ini berada,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, lansia, dan petani mengalami dampak paling berat. “Kerentanan petani ini bersifat ekologis sekaligus sosial-ekonomi,” tambahnya.

Ivanovich juga mengingatkan potensi munculnya konflik sosial akibat distribusi bantuan yang tidak merata atau dianggap tidak transparan.

“Dalam situasi bencana, kelelahan psikologis membuat masyarakat lebih sensitif. Ketimpangan kecil saja bisa memicu kecemburuan sosial,” jelasnya.

Keterlibatan pemimpin lokal, menurutnya, kadang dipersepsikan negatif apabila dianggap memprioritaskan kerabat atau kelompok tertentu.

Ia mengatakan bahwa gotong royong biasanya menguat pada fase awal bencana, ketika warga saling menolong. Namun solidaritas itu dapat melemah dalam jangka menengah jika pemulihan tidak berjalan baik.

“Kelelahan kolektif dan ketidakpastian pemulihan bisa menggerus kohesi sosial,” ujarnya.

Kepercayaan publik terhadap pemerintah juga ditentukan dari cepat-tidaknya respons dan transparansi distribusi bantuan.

Ivanovich menekankan bahwa pemulihan sosial pascabencana harus dilakukan secara komprehensif melalui penguatan pemulihan psikososial, pengaktifan kembali pranata sosial, pendataan yang transparan dan partisipatif, pemulihan mata pencaharian, penguatan peran pemerintah desa, pembangunan sistem mitigasi dan kesiapsiagaan berbasis komunitas.

“Bencana bukan hanya soal hari ini, tetapi bagaimana kita membangun kembali ketahanan sosial desa untuk masa depan,” tutupnya.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini