Pakar Tekankan Revisi UU TNI Harus Akomodasi Keamanan Nasional Secara Holistik

Pakar kajian keamanan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Abdul Haris Fatgehipon, menilai, terdapat titik lemah dalam Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Ini berdasarkan kajiannya atas filosofi keamanan nasional dan peran TNI.

“UU 34/2004 tentang TNI mengatur lingkup peran, fungsi, dan tugas TNI dalam menjaga kedaulatan dan keamanan negara. Namun, ada beberapa autokritik yang mengindikasikan kelemahan dalam beleid ini terkait dengan filosofi keamanan nasional dan peran TNI,” ucapnya dalam keterangannya, Jumat (19/7).

Menurutnya, UU 34/2004 kurang mengakomodasi konsep keamanan nasional yang holistik. Padahal, banyak aspek dalam keamanan nasional. Tidak hanya tentang militer.

“Keamanan nasional tidak hanya mencakup aspek militer, tetapi juga ekonomi, politik, sosial, dan lingkungan. UU ini lebih menekankan pada peran militer dalam menjaga keamanan, khususnya menjaga kedaulatan dan mempertahankan keutuhan NKRI. Sementara, aspek-aspek nonmiliter kurang mendapat perhatian,” bebernya.

Haris melanjutkan, mestinya digalakkan kajian filosofi keamanan nasional dari pakar. Dicontohkan dengan Kenneth Waltz, pendiri teori realisme struktural atau neorealisme, yang berpendapat bahwa struktur anarkis sistem internasional memaksa negara mencari kekuatan dan keamanan.

“Negara bertindak untuk bertahan hidup di bawah ketidakpastian dan ancaman dari negara lain,” katanya.

Pakar lainnya seperti Barry Buzan, sambungnya, memperkenalkan konsep keamanan yang lebih luas dalam berbagai dimensi.

“Buzan … menyarankan bahwa keamanan nasional tidak hanya melibatkan aspek militer, tetapi juga aspek politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Buzan menekankan pentingnya melihat ancaman dalam berbagai dimensi,” jelasnya.

Ia mengingatkan, kondisi geografis Indonesia dalam cincin api kebencanaan (ring of fire). Peran TNI pun sudah terbukti diandalkan dalam tugas kemanusiaan dan kebencanaan ini.

“TNI memiliki tugas pokok untuk pertahanan negara, tetapi juga sering terlibat dalam tugas-tugas nonmiliter, seperti bantuan kemanusiaan dan penanggulangan bencana. Perannya sangat terbukti diandalkan bagi kepentingan umum ini,” ujarnya.

Menurutnya, penguatan peran TNI dalam operasi nonmiliter dapat diintegrasikan dengan filosofi keamanan nasional yang holistik. Apalagi, ancaman keamanan saat ini kian kompleks dan melibatkan berbagai aspek selain militer.

Haris pun mendorong penguatan peran TNI dalam operasi nonmiliter diperkuat landasan hukum yang jelas. Revisi UU TNI yang diinisiasi DPR diharapkan menjadi momentum untuk menjadi landasan hukum yang jelas bagi peran TNI dalam operasi nonmiliter.

“Termasuk aturan tentang batasan dan mekanisme akuntabilitas agar peran TNI dalam tugas-tugas nonmiliter tidak melampaui batas dan tetap berada dalam kerangka demokrasi,” terangnya.

Ia juga berharap TNI secara kelembagaan menjadi bagian integral dari rencana keamanan nasional yang komprehensif. Setidaknya mencakup rencana kontijensi terhadap ancaman nontradisional, seperti bencana alam, perubahan iklim, terorisme, dan krisis kesehatan. Apalagi, integrasi tersebut membutuhkan koordinasi yang baik antara TNI dan semua lembaga terkait.

“TNI sudah terbukti berhasil mereformasi dirinya sebagai lembaga yang paling profesional dalam menjalankan amanat reformasi, kini saatnya DPR dapat mengakomodasi konsep keamanan yang lebih komprehensif guna membangun TNI sebagai garda utama pertahanan negara yang tangguh, kuat dan semakin profesional,” tandas Haris.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini