Partai Buruh Tegaskan Kenaikan UMP 2026 Harus Sesuai Putusan MK, Bukan Formula Baru Pemerintah

Intime – Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menegaskan bahwa kenaikan upah minimum tahun 2026 harus berada di kisaran 8,5 hingga 10,5 persen, sesuai amanat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XXI/2024.

“Formulanya hanya satu, yaitu berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu dengan mempertimbangkan kebutuhan hidup layak. Tidak ada formula lain,” ujar Said Iqbal dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (24/10).

Iqbal menilai usulan Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan, untuk membuat formula baru di luar putusan MK sebagai langkah yang bertentangan dengan hukum.

“Ngawur. Tidak ada formula lain kecuali keputusan MK Nomor 168 Tahun 2024, titik, tidak pakai koma,” katanya tegas.

Ia menegaskan, Serikat Buruh dan Partai Buruh berpatokan sepenuhnya pada putusan MK, yang kedudukannya sama dengan undang-undang sejak dibacakan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi periode Oktober 2024–September 2025 tercatat sebesar 2,65 persen, pertumbuhan ekonomi 5,12 persen, dan indeks tertentu antara 1,0–1,4. Dari perhitungan tersebut, kenaikan upah minimum yang sah secara hukum berkisar 8 persen, dan Partai Buruh mengusulkan kenaikan 8,5–10,5 persen sebagai ruang negosiasi yang wajar.

“Permintaan 8,5 persen tidak mengada-ada. Ini hasil perhitungan berbasis data resmi BPS, bukan akal-akalan. Kalau ada pejabat yang bilang jangan dengar serikat buruh, itu membodohi Presiden,” ujarnya.

Iqbal menjelaskan, koreksi terhadap inflasi semula dilakukan karena pada Agustus 2025 terjadi deflasi, yang menyebabkan inflasi tahunan turun dari proyeksi 3,2 persen menjadi 2,65 persen.

“Tidak ada yang direkayasa semua berbasis data resmi BPS,” katanya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa indeks tertentu yang digunakan KSPI dan Partai Buruh berada di kisaran 1,0 hingga 1,4, sejalan dengan kebijakan Presiden Prabowo Subianto tahun sebelumnya yang menggunakan indeks 0,9–1,0 untuk kenaikan upah 2025.

“Artinya, kami tidak mengada-ada. Dasar perhitungannya jelas dan konsisten dengan kebijakan Presiden sebelumnya,” imbuhnya.

Iqbal menilai daya beli masyarakat saat ini menurun akibat deflasi dan kebijakan upah murah. “Ketika daya beli turun, konsumsi turun, maka pertumbuhan ekonomi ikut melambat. Menurunkan upah justru kontraproduktif,” tegasnya.

Selain soal upah, Said Iqbal juga menyoroti Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketenagakerjaan baru yang menurutnya harus terpisah dari Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Koalisi Serikat Pekerja dan Partai Buruh (KSP-PB) telah menyerahkan dokumen pokok pikiran kepada DPR sebagai tindak lanjut dari Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2024, yang memerintahkan penyusunan undang-undang ketenagakerjaan secara terpisah.

Dalam pokok pikirannya, KSPI dan Partai Buruh menekankan pentingnya reformulasi sistem pengupahan, termasuk penerapan upah minimum sektoral, upah struktural bagi pekerja dengan masa kerja di atas satu tahun, dan penghapusan sistem outsourcing serta status “mitra” yang dianggap merugikan pekerja.

“Upah minimum hanya berlaku bagi pekerja dengan masa kerja satu tahun ke bawah. Bagi yang sudah bekerja di atas satu tahun, upahnya wajib di atas upah minimum,” jelasnya.

Ia juga menegaskan perlunya perlindungan bagi seluruh pekerja, termasuk pekerja kontrak dan platform digital, agar tetap berhak atas pesangon.

Sebagai bentuk perjuangan, Partai Buruh dan KSPI akan menggelar aksi bergelombang di 300 kabupaten/kota di 38 provinsi mulai 23 Oktober hingga 31 Desember 2025. Aksi nasional akan digelar pada 30 Oktober 2025, diikuti mogok nasional yang waktunya akan diumumkan kemudian.

“Seluruh aksi ini akan dilakukan secara damai, tertib, konstitusional, dan bertanggung jawab. Aksi buruh anti kekerasan dan anti anarkisme. Ini perjuangan untuk keadilan upah,” pungkas Said Iqbal.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini