Pasal Kontroversial RUU Perampasan Aset Disebut Bisa Jadi Pedang Bermata Dua

Intime – Pakar Komunikasi dan Hukum FISIP Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Henri Subiakto menyoroti sejumlah pasal kontroversial dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset.

Menurutnya, beberapa pasal memberikan kewenangan sangat besar kepada aparat negara yang berpotensi menimbulkan masalah jika tidak diimbangi integritas.

“Hal ini akan menjadi sangat baik jika aparat negaranya bersih, adil, dan berintegritas. Tapi belajar dari UU lain, problematika hukum di Indonesia itu bukan persoalan norma UU semata. Masalah utamanya ada di para penegak hukum yang sering menerapkan UU sesuai kepentingan mereka, termasuk relasi dengan penguasa politik dan ekonomi,” ujar Prof Henri dalam keterangannya, Kamis (18/9).

Henri menyebut Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebenarnya juga memiliki instrumen untuk merampas aset bermasalah. Namun, penerapannya kerap tidak konsisten.

“UU diterapkan secara galak kalau targetnya berseberangan secara politik. Tapi tumpul saat terkait ada kepentingan relasi elit dan politik,” tegasnya.

Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah Pasal 2 RUU Perampasan Aset yang memperbolehkan penyitaan tanpa menunggu putusan pidana. Henri menilai ketentuan itu ibarat pedang bermata dua jika sistem pengawasan aparat penegak hukum belum diperkuat.

“Negara kita masih terbelit korupsi, bahkan hingga merasuk ke aparat pembasmi korupsi itu sendiri,” katanya.

Ia menekankan bahwa hukum seharusnya menjadi obat penyembuh korupsi, bukan justru menjadi bagian dari masalah. Mengutip pemikir politik Montesquieu, Henri mengingatkan bahaya korupsi yang justru bersumber dari hukum itu sendiri.

“Korupsi yang paling berbahaya adalah ketika hukum merusak rakyat. Penyakit ini tak tersembuhkan karena sudah tercampur dalam obatnya,” ucapnya.

Henri menegaskan langkah utama yang harus dilakukan adalah membersihkan aparat penegak hukum dari praktik-praktik koruptif.

“Tidak bisa tidak, harus dibersihkan dulu para penegak hukum yang tidak memiliki integritas atau bercampur dekat dengan korupsi itu sendiri,” pungkasnya.

Sebelumnya, sejumlah pasal dalam RUU Perampasan Aset ramai diperdebatkan publik, antara lain Pasal 2 yang memperbolehkan perampasan aset tanpa menunggu putusan pidana; Pasal 3 yang membolehkan perampasan meski proses pidana masih berjalan; Pasal 5 ayat (2) huruf a yang memungkinkan aset dirampas bila jumlah harta dianggap tidak seimbang dengan penghasilan sah.

Kemudian, Pasal 6 ayat (1) yang menyebut aset bernilai minimal Rp100 juta bisa dirampas; serta Pasal 7 ayat (1) yang membolehkan perampasan aset meski tersangka meninggal, melarikan diri, atau dibebaskan.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini