Tim Hukum DPP PDI Perjuangan (PDIP) meminta kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda penetapan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden terpilih pada Rabu (24/4).
Alasannya karena Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menerima gugatan PDIP terhadap KPU RI terkait dugaan perbuatan melawan hukum dan akan segera disidangkan.
“Saya harus menegaskan sidang putusan hari ini di PTUN dipimpin oleh Ketua PTUN Jakarta. Hasil dari putusan yang disampaikan adalah permohonan kami layak untuk diproses dalam sidang pokok perkara, karena apa yang kami temukan seluruhnya tadi pagi menjadi putusan ini,” kata Kuasa Hukum PDIP Gayus Lumbuun di Kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, Selasa (23/4).
Ia menyatakan pihaknya sudah mendatangi KPU untuk memberitahukan ihwal putusan hakim PTUN. Menurutnya, diterimanya gugatan PDIP oleh PTUN menunjukkan bahwa keadilan masih bisa ditegakkan di Indonesia.
“Bahwa hasil putusan dismissal PTUN hari ini memberikan harapan besar bagi kami untuk nantinya pada proses persidangan apa yang telah diputuskan kami dianggap layak untuk dilanjutkan tadi, menjadikan satu celah hukum ini masih bisa ditegakkan di negara kita, artinya hukum masih berdaulat di negara kita,” kata Gayus.
Gayus menjelaskan, perbuatan melawan hukum yang diduga dilakukan KPU yaitu berkaitan dengan diterimanya pencalonan Gibran sebagai calon wakil presiden pendamping Prabowo.
“Di PTUN inilah akan terbaca, terungkap semua persoalan karena adanya pelanggaran hukum oleh penguasa. Dan ini akan keungkap,” ucapnya.
Lebih lanjut, Gayus menegaskan, KPU harus taat hukum dalam menjalankan peraturan. Dia meminta agar penetapan Prabowo-Gibran menunggu proses hukum di PTUN rampung.
“Itu yang kami inginkan supaya jangan ada justice delay. Jadi keadilan yang terlambat nanti kalau buru-buru ditetapkan. Bersabar, beri kesempatan hukum untuk menentukan apakah penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan ini sudah patut untuk memutuskan atau menetapkan,” kata Gayus.
Menurut Gayus, permohonan yang diajukan ke PTUN secara hukum berbeda dengan yang dimohonkan di Mahkamah Konstitusi (MK). Dia menyebut, permohonan di PTUN untuk menelusuri apakah ada pelanggaran yang dilakukan KPU.
“Dan apakah ada pelaksanaan pemilu yang dilakukan oleh penguasa aparatur negara yang menyimpang. Sehingga apa yang kami ajukan adalah satu proses yang bermuara kepada apa yang disebut sebagai dalam bahasa hukum administrasi,” ujarnya.
Gayus memastikan pihaknya akan menyerahkan adanya pelanggaran-pelanggaran oleh KPU yang menyebabkan berubahnya hasil pemilu. Selain itu, kata dia, pihaknya juga bakal menunjukkan adanya pelanggaran proses pemilu oleh KPU.
“KPU harus taat hukum, hukum itu bisa berdaulat di negara ini yang menunda penetapan pasangan yang dianggap menang yang sudah final and binding yang tidak begitu utuh karena masih ada persoalan baru yang dipersoalkan di pengadilan lainnya yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara yang akan menyidangkan apakah ada pelanggaran, apakah ada pembiaran itu kira-kira,” pungkas Gayus.