Pendidikan Mahal, Pengamat: Ujian Semangat Kebangkitan Nasional

Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), yang diperingati setiap 20 Mei, merupakan momen bersejarah bagi bangsa Indonesia. Hari ini menjadi simbol kebangkitan semangat nasionalisme dan perjuangan untuk kemerdekaan yang dipelopori berdirinya Boedi Oetomo pada 1908. Namun, momentum Harkitnas ke-116 diuji dengan permasalahan biaya pendidikan yang mahal. Hal tersebut pun disoroti Direktur Eksekutif Human Studies Institute, Rasminto.

“Di tengah impian kita untuk melihat Indonesia maju dan sejahtera mencapai Indonesia Emas 2045, terselip kenyataan pahit yang menghambat langkah menuju masa depan gemilang, yakni kita dihadapkan kenyataan mahalnya biaya pendidikan yang semakin tidak terjangkau bagi banyak kalangan. Pendidikan, yang seharusnya menjadi hak dasar dan jalan menuju kemajuan, kini menjadi barang mewah yang hanya bisa dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat,” ujarnya dalam keterangannya, Senin (20/5).

Ia melanjutkan, banyak anak, terutama di pelosok, memiliki mimpi besar untuk menjadi dokter, insinyur, atau guru. Namun, cita-cita tersebut sering kali terhenti di depan pintu sekolah yang menuntut biaya tinggi. Biaya pendaftaran, seragam, buku, dan sumbangan sekolah menjadi penghalang nyata bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.

“Bagaimana mungkin kita bisa maju jika anak-anak bangsa terhalang oleh tembok tinggi mahalnya pendidikan?” tanya akademisi Universitas Islam ’45 (Unisma) Bekasi ini.

Ia mengingatkan, ketidakadilan yang muncul akibat mahalnya biaya pendidikan menciptakan jurang yang semakin lebar antara golongan kaya dan papa.

“Anak-anak dari keluarga kaya dapat menikmati fasilitas pendidikan terbaik, sementara anak-anak dari keluarga miskin harus puas dengan apa yang ada, sering kali dengan kualitas yang jauh dari memadai. Kesenjangan ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan sosial, tetapi juga menghambat potensi besar yang dimiliki generasi muda kita,” ulasnya.

Mahalnya biaya pendidikan juga terjadi di perguruan tinggi negeri (PTN) karena uang kuliah tunggal (UKT) tidak lagi terjangkau bagi kelas menengah ke bawah.

“Fakta ini menjadi sebuah ironi yang kontras dalam konteks komersialisasi pendidikan. Hal ini tentunya bertentangan pada Pasal 4 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa,” bebernya.

Rasminto pun menyesalkan pernyataan Sesditjen Dikti Kemendikbud Ristek, Tjitjik Srie Tjahjandarie, yang menyebut pendidikan tinggi sebagai pendidikan tersier (tertiery education).

“Sangat menyayat hati masyarakat. Pernyataan tersebut dinilai tidak simpatik sekaligus menguatkan persepsi jika kuliah atau pendidikan tinggi bersifat elitis dan hanya untuk kalangan tertentu saja,” kritiknya.

“Literasinya harus diluruskan. Bahwasanya tertiery education merupakan tahapan dalam levelitas jenjang pendidikan tinggi yang banyak dianut dalam sistem pendidikan barat, di mana dalam tahapan pendidikan barat diawali oleh tahapan primary education, secondary education, dan tertiary education. Jadi, pendidikan tinggi tetaplah pendidikan yang menjadi hak dasar bagi setiap warga negara Indonesia,” sambungnya.

Lebih jauh, Rasminto menyampaikan, mahalnya biaya pendidikan bakal berdampak serius terhadap kualitas tenaga kerja masa depan. Pangkalnya, tidak banyak sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang dihasilkan.

“Ketika hanya segelintir orang yang mendapatkan pendidikan berkualitas, kita kehilangan banyak talenta yang sebenarnya bisa berkontribusi besar bagi kemajuan bangsa. Sumber daya manusia yang tidak optimal ini berdampak langsung pada berbagai sektor, mulai dari kesehatan, teknologi, hingga ekonomi nasional,” katanya.

Pemerintah pun diminta lebih serius dalam mengalokasikan anggaran untuk pendidikan agar tidak terfokus pada jenjang pendidakan tertentu, tetapi mengalokasikan secara proporsional berdasarkan asas berkeadilan. Jumlahnya pun sesuai mandat konstitusi, yakni 20% dalam APBN atau lebih dari Rp600 triliun per tahun.

“Selain itu, program beasiswa pendidikan yang dikelola oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sebesar Rp139 triliun harus diperluas dan dipermudah aksesnya serta mencakup lebih banyak generasi muda dari berbagai latar belakang, bukan hanya kalangan elite tertentu saja,” tutup Rasminto.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini