Peneliti Unpad Soroti Proyek Penulisan Sejarah, Khawatir Ada Manipulasi Demi Kepentingan Kekuasaan

Intime – Peneliti Pusat Studi Politik dan Demokrasi Universitas Padjadjaran, Cusdiawan, mengkritisi proyek penulisan sejarah yang tengah digagas Kementerian Kebudayaan. Ia menilai proyek tersebut berpotensi menimbulkan manipulasi sejarah jika diarahkan untuk melayani kepentingan kekuasaan.

“Dalam ilmu sosial humaniora, kerja ilmiah tidak bisa sepenuhnya netral karena selalu melibatkan subjektivitas dan interpretasi. Namun semuanya harus didasarkan pada kejujuran pikiran dan metodologi keilmuan,” ujar Cusdiawan, Senin (17/11).

“Berbeda halnya jika penulisan sejarah sejak awal didesain untuk melayani kepentingan otoritas berkuasa. Inilah yang patut menjadi kegelisahan kita bersama,” sambungnya.

Peneliti yang juga tergabung dalam International Political Science Association (IPSA) ini menjelaskan bahwa penulisan sejarah yang didasarkan pada kepentingan politik akan membentuk memori kolektif masyarakat sesuai agenda penguasa. Hal itu dinilainya sebagai bentuk manipulasi yang dapat diwariskan ke generasi berikutnya.

“Tujuannya jelas, membentuk memori kolektif agar sejalan dengan keinginan otoritas yang berkuasa. Dampaknya bisa menyeret publik dalam logical fallacy, yakni menetapkan kebenaran hanya berdasarkan sejarah resmi,” katanya.

Kondisi tersebut, lanjutnya, dapat merusak kualitas diskursus akademik maupun ruang publik.

Cusdiawan menekankan bahwa bangsa yang dewasa harus berani jujur terhadap sejarahnya sendiri, sepahit apa pun, karena sejarah merupakan pembelajaran untuk menghadapi tantangan masa depan.

Lebih jauh, ia menilai proyek penulisan sejarah pemerintah berpotensi berkaitan, langsung maupun tidak langsung, dengan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Ia mengkhawatirkan adanya upaya memilah fakta—memasukkan bagian tertentu yang menguntungkan penguasa dan mengabaikan catatan kelam masa lalu.

Ia menyebut polemik terkait gelar pahlawan bagi Soeharto wajar terjadi karena publik berhak mempertanyakan komitmen negara dalam menyelesaikan pelanggaran HAM. “Pemberian gelar itu bisa melegitimasi cara kerja rezim ke depan, bahwa atas nama pembangunan atau stabilitas, masalah HAM bisa dipinggirkan,” ujarnya.

Cusdiawan menutup dengan memperingatkan bahwa pendekatan pembangunan yang hiperpragmatis dan utilitarian berpotensi mempercepat eksklusi sosial dan pelanggaran hak asasi di masa mendatang.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini