Intime – Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori, menyoroti penetapan Anggito Abimanyu sebagai Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) periode 2025-2030 oleh DPR RI.
Defiyan menegaskan keputusan tersebut cacat prosedural dan berpotensi melanggar Undang-Undang, sehingga meminta Presiden Prabowo Subianto memberikan perhatian serius dan menolak penetapan itu.
Menurut Defiyan, penetapan Ketua LPS ini penting lantaran LPS merupakan lembaga independen dan penjamin dana simpanan nasabah terakhir (last deposit resort), yang operasional dan pengambilan kebijakan strategisnya harus terjaga berdasarkan ketentuan hukum dan konstitusional.
Kata dia, berdasarkan hukum konstitusi, independensi kelembagaan dan personalia LPS telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 (UU 24/2004 (yang kemudian direvisi menjadi UU 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan/PPSK) serta tidak bisa dilanggar dan diabaikan begitu saja.
“Independensi kelembagaan ini harus terbukti mulai dari proses seleksi dan perekrutan. Sebab, hal ini jelas akan berpengaruh pada soliditas organisasi yang berdampak pada kinerja kelembagaan dan perekonomian nasional,” kata Defiyan, Sabtu (27/9).
Defiyan menegaskan bahwa penetapan Anggito Abimanyu tidak absah karena terkait dua faktor kunci yang diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK), yang merevisi UU LPS terdahulu.
Pertama, Anggito Abimanyu tidak mengikuti proses dan mekanisme seleksi calon Ketua LPS sedari awal secara transparan.
“Hal ini merupakan bentuk pelanggaran serius atas UU PPSK. Keputusan Komisi XI DPR RI merestui Anggito Abimanyu sebagai Ketua LPS jelas menjebak (fait accompli) Presiden RI Prabowo Subianto untuk melakukan pengabaian terhadap hukum dan konstitusi berlaku,” paparnya.
Kedua, penetapan Anggito juga tidak berasal dari daftar peserta lolos seleksi yang telah disahkan Panitia Seleksi (Pansel) dan diajukan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) kala itu, Sri Mulyani Indrawati.
Defiyan mencontohkan dua calon Wakil Dewan Komisioner (DK) LPS lain, Doddy Zulverdi dan Farid Azhar Nasution, yang lolos seleksi Pansel sebelumnya, memiliki kekuatan yurisprudensi yang berbeda dengan Anggito.
“Proses dan mekanisme terpilihnya anggota DK ini harus mengacu pada Pasal 66 dan Pasal 67 huruf (i) UU LPS/PPSK. Posisi terpilihnya Doddy Zulverdi dan Farid Azhar Nasution sangat berbeda dengan Anggito Abimanyu,” jelasnya.
Defiyan mendesak agar Komisi XI DPR RI seharusnya konsisten mengacu pada daftar pendek (shortlist) hasil seleksi Pansel terdahulu, bukan mensubstitusikan posisi Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu dengan Purbaya Yudhi Sadewo, yang awalnya juga lolos seleksi calon Ketua LPS.
“Oleh karena itu, Presiden harus menolak keputusan DPR RI yang cacat prosedural dalam menetapkan Anggito Abimanyu sebagai Ketua LPS pengganti Purbaya Yudhi Sadewa tersebut,” tegas Defiyan.
Jika proses penetapan yang melanggar UU ini disahkan oleh Presiden, hal itu dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk bagi pelanggaran UU lainnya di masa depan.
Defiyan menyarankan Presiden untuk melakukan pemilihan ulang calon Ketua LPS yang sesuai dengan UU LPS/PPSK.
Ia menambahkan, DPR RI dapat memanfaatkan cadangan hasil seleksi terdahulu (berjumlah 12 orang) untuk diajukan kembali sebagai calon Ketua LPS melalui persetujuan Menkeu RI Purbaya Yudhi Sadewa, yang dinilai lebih efektif dan tidak melanggar ketentuan proses seleksi.