Penetapan Roy Suryo Cs sebagai Tersangka Kasus Dugaan Ijazah Palsu Jokowi Dinilai Bentuk Kriminalisasi

Intime – Aliansi Advokat Bandung Bergerak (AABB) menilai penetapan Roy Suryo dan tujuh orang lainnya sebagai tersangka kasus dugaan penyebaran informasi bohong terkait ijazah Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) sebagai bentuk kriminalisasi dan ancaman terhadap kebebasan berekspresi.

Delapan orang tersebut dijerat dengan Pasal 27A dan Pasal 28 Undang-Undang ITE, serta Pasal 310 dan/atau Pasal 311 KUHP, dengan ancaman maksimal 6 tahun penjara.

Perwakilan AABB, Prof. Dr. Anton Minardi, SH., MA., menyatakan bahwa langkah penyidik Polri tersebut memperkuat dugaan publik bahwa institusi kepolisian tengah menghadapi persoalan serius terkait profesionalisme dan independensi penegakan hukum.

“Menetapkan delapan aktivis sebagai tersangka di tengah desakan reformasi Polri menunjukkan bahwa opini publik itu benar bahwa Polri memang sedang sakit dan harus direformasi segera,” ujar Prof Anton dalam keterangan tertulis, Jumat (14/11). Ia menilai tindakan itu berpotensi mereduksi Indonesia dari negara demokratis menjadi negara yang cenderung otoriter.

Menurut Anton, penetapan tersangka tersebut telah menimbulkan keresahan dan ketidakpastian hukum, serta memunculkan dugaan kuat adanya kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat yang dilindungi konstitusi. Ia menegaskan bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menjamin perlindungan hukum yang adil bagi setiap warga negara, serta menuntut semua tindakan penegakan hukum menjunjung tinggi asas due process of law dan praduga tak bersalah.

“Proses yang dilakukan Polda Metro Jaya tampak menunjukkan ketidakwajaran secara substansi hukum, prosedur, maupun motif politik. Ini dapat mencederai prinsip keadilan dan independensi aparat penegak hukum,” kata Anton.

AABB juga menilai bahwa kriminalisasi terhadap individu atau kelompok yang memperjuangkan kepentingan publik merupakan kemunduran demokrasi dan bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Atas dasar itu, AABB menyampaikan lima pernyataan sikap. Pertama, menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap warga negara, aktivis, akademisi, dan tokoh masyarakat yang menjalankan hak konstitusionalnya untuk menyampaikan pendapat secara damai.

Kedua, mendesak Kapolri dan Polda Metro Jaya membatalkan penetapan delapan tersangka secara objektif, profesional, dan transparan.

Ketiga, mendorong Kompolnas, Komnas HAM, dan Ombudsman RI melakukan pengawasan independen terhadap proses hukum yang berlangsung.

Keempat, mengajak seluruh elemen masyarakat sipil, organisasi profesi hukum, dan akademisi untuk bersatu menolak praktik kriminalisasi yang mengancam ruang kebebasan sipil.

Kelima, menyatakan komitmen memberikan pendampingan hukum kepada mereka yang menjadi korban kriminalisasi.

“Kami menyerukan agar aparat penegak hukum mengembalikan marwah hukum sebagai instrumen keadilan, bukan alat kekuasaan. Fiat justitia ruat caelum—keadilan harus ditegakkan walaupun langit runtuh,” pungkas Anton.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini