Intime – Penundaan eksekusi terhadap terpidana Silfester Matutina dalam kasus fitnah terhadap Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla dinilai mencerminkan kemunduran dalam penegakan hukum di Indonesia.
Eksekusi vonis 1,5 tahun penjara yang dijatuhkan pada 2019 seharusnya telah dilakukan oleh kejaksaan. Namun, hingga kini pelaksanaan putusan tersebut belum terealisasi dengan alasan pandemi COVID-19 dan kesulitan menemukan keberadaan terpidana.
Alih-alih mengeksekusi, pihak kejaksaan justru meminta bantuan penasihat hukum Silfester untuk menghadirkan kliennya kepada jaksa eksekutor.
Direktur Eksekutif Democratic Judicial Reform (DE JURE), Bhatara Ibnu Reza, menilai langkah tersebut menunjukkan kejaksaan tidak serius dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
“Kejaksaan menggunakan berbagai dalih serta saling lempar tanggung jawab antara Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan Kejaksaan Agung. Padahal, terpidana masih muncul secara bebas di media massa,” ujar Bhatara dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/10).
Menurutnya, sikap tersebut menimbulkan pertanyaan publik soal praktik tebang pilih dalam penegakan hukum.
Bhatara juga menyoroti peran Komisi Kejaksaan RI yang dinilai gagal menjalankan fungsi pengawasan eksternal terhadap kinerja dan perilaku jaksa.
“Komisi Kejaksaan seolah turut mengamini langkah kejaksaan dalam mengulur-ulur pelaksanaan eksekusi. Sejak kasus ini kembali disorot publik, Komisi Kejaksaan hanya mendorong tanpa mendesak kejaksaan secara tegas,” ucapnya.
Ia menambahkan, kasus ini menjadi bukti bahwa keluasan kewenangan kejaksaan tidak menjamin penegakan hukum yang efektif tanpa mekanisme check and balance yang kuat.
“Kejaksaan terus berupaya memperluas kewenangannya melalui RUU KUHAP dan RUU Perubahan Kedua UU Kejaksaan, sementara pengawasan eksternal tidak diperkuat. Ini berpotensi memunculkan penyalahgunaan wewenang atau abuse of power,” kata Bhatara.
Bhatara mendesak Kejaksaan RI segera mengeksekusi vonis terhadap Silfester Matutina dan Komisi Kejaksaan RI memperkuat pengawasan kinerja jaksa.
“Kejaksaan tidak perlu menarik militer dalam wilayah kewenangannya karena hal itu keliru dan menyalahi konstitusi. Tugas militer adalah menjaga kedaulatan negara, bukan menjaga kejaksaan,” pungkasnya.