Capres Anies Baswedan menunjukkan komitmen dan keseriusannya dalam memperhatikan perubahan iklim. Tidak hanya menceritakan pengalaman dan rekam jejaknya saat kuliah hingga menjadi gubernur DKI yang selalu turut andil dalam isu perubahan iklim dan energi baru terbarukan, Anies juga menggagas sebuah terobosan brilian dengan membentuk badan dan lembaga khusus yang menangani perubahan iklim.
Gagasan itu Anies sampaikan saat menjadi narasumber dalam acara bertajuk ‘Rembuk Ide Transisi Energi Berkeadilan; Menelaah Gagasan dan Komitmen Calon Pemimpin Indonesia’ yang dilaksanakan The Habibie Cantre di Jakarta, Kamis (23/11). Anies mencontohkan beberapa negara di dunia yang lebih dulu membuat sebuah badan dan lembaga khusus di bidang penanganan perubahan iklim. Seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, India, Bangladesh, dan Selandia Baru.
Anies menyatakan, penanganan climate crisis atau krisis iklim tidak bisa diselesaikan secara sektoral saja. Perlu tersedia badan khusus yang bertugas melakukan monitoring terhadap krisis iklim. Sekaligus menjadi rujukan jika ditemukan masalah dalam penanganan perubahan dan krisis iklim. “Jadi bukan badan yang mengeksekusi, karena yang bertugas melakukan eksekusi itu sudah ada kementerian, ada dinas-dinas terkait yang ada di provinsi dan kabupaten/kota,” tegas Anies.
Menurut Anies, saat ini Indonesia telah memiliki komitmen tingkat global terhadap persoalan iklim dan energi baru terbarukan yang pelaksanaanya melalui lembaga yang sekarang sudah ada. “Dengan kehadiran lembaga atau badan baru ini kepala pemerintahan bisa memastikan solusi-solusi, evalusi, energi baru terbarukan itu bisa dilaksanakan dengan optimal karena ada tim khusus yang melakukan pemantauan, yang melakukan pendampingan untuk memastikan program terlaksana di lapangan,” jelas Anies.
Capres nomor 1 itu yakin tidak akan terjadi tumpang tindih kebijakan antara badan atau lembaga baru tersebut dengan kementerian dan lembaga lain yang saat ini sudah ada. Beberapa negara di dunia sudah membuktikan bahwa berbagai lembaga yang terkait dengan iklim tidak menimbulkan tumpang tindih kebijakan. “Apakah ini baru (di dunia)? Tidak. Berbagai negara sudah melakukannya supaya tidak merusak apa yang sudah dilaksanakan oleh kementerian atau lembaga-lembaga yang saat ini bekerja untuk energi baru terbarukan,” tutur Anies.
Kehadiran lembaga baru tersebut merupakan bagian dari ikhtiar Anies dalam mewujudkan gagasan dan komitmen transisi energi berkeadilan. Bagi capres yang diusung Nasdem, PKS, dan PKB itu, energi berkeadilan adalah refleksi dari upaya mewujudkan satu kemakmuran sebagai bagian dari cita-cita UUD 1945. Sedangkan satu kemakmuran tidak akan pernah terlaksana bila ruang hidup kita rusak.
“Selain lambat realisasinya transisi energi kita juga sarat ketidakadilan. Kita ingin transisi energi berkeadilan ini benar-benar terelisasi,” ujar Anies.
Anies menegaskan bahwa krisis iklim yang terjadi saat ini tidak bisa dibiarkan karena berdampak pada lintas sektor-komunitas. Di sektor lingkungan, sekitar 20 juta hektare hutan hilang dalam 20 tahun terakhir, dan di sektor kesehatan sebanyak 38 kabupaten yang rentan atau berisiko tinggi penyebaran malaria.
“Termasuk di sektor ekonomi dengan potensi kerugian mencapai Rp544 triliun sejak 2020 hingga 2024, serta terdapat 174 kabupaten kota di Indonesia rentan atau berisiko tinggi mengalami ketidaktahanan air dan 98 persen bencana di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi,” papar Anies.
Capres dari Koalisi Perubahan itu menunjukkan komitmen kepeduliannya terhadap energi baru terbarukan saat menjadi orang nomor satu di Jakarta. Menurut Anies, Pemprov DKI kala itu mengkonversi 52 angkutan umum bus listrik, menyediakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Pulau Sabira, Kepulauan Seribu, untuk memenuhi 50 persen konsumsi listrik penduduk, menerapkan sekolah net zero carbon, dan penyediaan 1.080 unit panel surya untuk Jakarta International Stadium (JIS).
“Pemprov bahkan terlibat mendorong kota-kota di dunia untuk implementasikan aksi iklim,” tandas Anies.