Perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam menjadi sembilan tahun berpotensi membuka celah kejahatan dan penyelewengan yang sistematis. Demikian disampaikan pengamat politik Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, Ridho Al-hamdi.
Kepala desa dari berbagai wilayah di Indonesia sampai ke Jakarta melakukan aksi unjuk rasa guna menuntut masa jabatan dengan merevisi Undang-undang (UU) Nomor 6 tahun 2014 tentang desa yang mengatur tentang masa jabatan tersebut.
LHKP Pimpinan Pusat Muhammadiyah meminta usulan perpanjangan masa jabatan yang diajukan sejumlah kepala desa untuk segera dihentikan.
“Sebenarnya saya juga membaca kalau usulan ini disetujui, seandainya menjadi sembilan tahun maka ini akan menjadi alat kekuasaan untuk mengamankan Pemilu serentak 2024. Ini sudah bisa terbaca,” kata Ridho Al-hamdi dalam keterangannya, Kamis (26/1).
Ridho menjelaskan, tuntutan ini justru terkesan memuat kepentingan politik ketimbang kepentingan masyarakat luas.
“Oh ternyata pilkades berhasil jadi sembilan tahun, nah ini bagi orang-orang yang punya kepentingan juga motif politiknya, kenapa tidak untuk (jabatan) presiden? Untuk tidak menjadi perpanjangan periodisasi,” kata dia.
Karena itu, dia mendorong DPR lebih mengutamakan kepentingan masyarakat luas ketimbang politik praktis. Caranya, dengan menolak usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa yang bisa mencapai 27 tahun.
Ia menegaskan, tidak perlu ada perubahan masa jabatan kepala desa dalam Undang-Undang Desa karena tidak sesuai dengan prinsip demokrasi.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyebutkan masa jabatan kepala desa (kades) harus mempertimbangkan manfaat bagi pembangunan desa.
“Untuk kepala desa itu yang pas betul, apa mau disamakan dengan presiden, gubernur dan bupati, atau bagaimana itu nanti akan ada pemerintah dan DPR membicarakan yang tepat dan maslahat, yang baik supaya desa itu bisa dibangun menjadi desa yang maju nantinya,” katanya.