Intime – Pengamat politik Edy Mulyadi mengkritik keras sikap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang tetap menerbitkan Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang penempatan anggota Polri aktif pada jabatan di luar institusi kepolisian.
Menurut Edy, kebijakan tersebut mencerminkan sikap kesombongan dan arogansi kekuasaan karena secara terang-terangan menabrak aturan hukum yang lebih tinggi.
Hal itu disampaikan Edy Mulyadi melalui kanal YouTube pribadinya yang dikutip pada Sabtu (27/12). Ia menilai Perpol tersebut bertentangan langsung dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang perwira aktif Polri menduduki jabatan sipil di luar institusi kepolisian.
“Ini bukan sekadar pelanggaran biasa. Ini kesombongan luar biasa. Arogan. Jelas-jelas menabrak aturan di atasnya,” kata Edy.
Perpol Nomor 10 Tahun 2025 menjadi sorotan publik karena memberikan ruang bagi perwira Polri aktif untuk menempati jabatan di sedikitnya 17 kementerian dan lembaga negara. Padahal, menurut Edy, kebijakan itu justru menghidupkan kembali praktik dwifungsi yang telah lama ditinggalkan pascareformasi.
Edy juga mengutip pandangan mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang menilai Perpol tersebut tidak hanya melanggar putusan MK, tetapi sekaligus bertentangan dengan dua undang-undang, yakni Undang-Undang Kepolisian dan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Mahfud MD mewakili suara rakyat yang masih berakal sehat. Ini bukan cuma melanggar putusan MK, tapi juga melanggar dua undang-undang sekaligus,” ujar Edy.
Ia kemudian menjelaskan hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Menurutnya, Perpol berada jauh di bawah konstitusi, Pancasila, putusan MK, undang-undang, hingga peraturan pemerintah. Sementara itu, posisi Kapolri secara struktural setara dengan menteri.
“Bayangkan, sebuah peraturan yang levelnya paling bawah berani menabrak begitu banyak aturan di atasnya. Kalau ini bukan kesombongan, lalu apa lagi namanya?” ucap Edy.
Lebih lanjut, Edy menilai penerbitan Perpol tersebut berpotensi merusak prinsip supremasi sipil dan memperlemah reformasi sektor keamanan. Ia mengingatkan bahwa kepolisian seharusnya tunduk pada konstitusi dan hukum, bukan justru menempatkan diri di atasnya.
Kontroversi Perpol 10/2025 pun menambah daftar panjang polemik seputar relasi kekuasaan, hukum, dan institusi keamanan, sekaligus memicu kekhawatiran publik terhadap arah demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia.

