Intime – Wartawan senior Edy Mulyadi menilai Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 telah memicu polemik serius dan membuka pertanyaan besar terkait komitmen pemerintah terhadap supremasi konstitusi.
Menurut Edy, regulasi tersebut menuai kritik luas dari publik hingga kalangan akademisi, namun tidak direspons secara tegas oleh pimpinan negara.
“Perpol 10/2025 benar-benar bikin masalah. Kritik datang dari mana-mana, bahkan dari akademisi sekelas Mahfud MD. Tapi Kapolri tetap bergeming,” kata Edy dalam keterangannya, Jumat (26/12).
Edy juga menyoroti sikap Presiden Prabowo Subianto yang dinilai tidak menunjukkan respons berarti terhadap polemik tersebut. Padahal, Perpol itu dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil.
Putusan MK, lanjut Edy, bersifat final dan mengikat sehingga wajib dipatuhi seluruh lembaga negara.
“Bukan hanya bertentangan dengan putusan MK, Perpol ini juga dinilai melabrak dua undang-undang sekaligus. Namun tak ada teguran, apalagi pencabutan,” ujarnya.
Menurut Edy, persoalan Perpol 10/2025 tidak lagi semata soal teknis hukum, melainkan telah berkembang menjadi persoalan politik.
Ia mempertanyakan mengapa Presiden tidak mengambil langkah konstitusional yang tegas, meski memiliki mandat politik kuat dan dukungan parlemen yang dominan.
Edy menilai sikap tersebut tidak terlepas dari posisi Polri yang semakin dominan dalam lanskap kekuasaan nasional. Dalam satu dekade terakhir, kata dia, Polri tidak hanya berperan sebagai penegak hukum, tetapi juga aktor penting dalam menjaga stabilitas politik dan keamanan.
“Dalam konteks ini, Perpol bukan sekadar produk administratif, tapi penanda arah konsolidasi kekuasaan,” ucap Edy.
Ia juga menyinggung harapan publik terhadap pemerintahan baru yang semula dipandang sebagai momentum koreksi politik pasca era sebelumnya. Namun, menurut Edy, sinyal yang muncul justru menunjukkan keberlanjutan pola relasi negara dengan aparat keamanan.
Edy mengingatkan bahwa ketergantungan kekuasaan pada aparat penegak hukum berpotensi melahirkan simbiosis yang tidak sehat. Stabilitas mungkin tercipta, tetapi dengan konsekuensi menyempitnya ruang demokrasi dan kebebasan berpendapat.
“Ujian kepemimpinan ada pada keberanian menegakkan konstitusi. Jika regulasi yang jelas melanggar putusan MK saja dibiarkan, masa depan negara hukum patut dikhawatirkan,” pungkasnya.

