Oleh: Achmad Nur Hidayat (Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute)
Bulan September 2022 diperkirakan kuota Bahan Bakar Minya (BBM) bersubsidi untuk Pertalite dan Solar akan habis.
Kondisi tersebut akan diikuti naiknya harga barang sehingga menyebabkan inflasi tinggi dan jumlah orang miskin baru akan meningkat.
PT Pertamina (Persero) melaporkan realisasi penyaluran bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite per 31 Juli 2022 sudah mencapai 16,8 juta kiloliter dari kuota yang ditetapkan tahun ini sebesar 23,05 juta kiloliter.
Artinya, tersisa 6,25 juta KL hanya mencukupi penyaluran Agustus dan September 2022 saja. Bahkan, bisa lebih cepat lagi bila konsumsi dalam negeri tidak dikendalikan.
Akibatnya, September 2022 tidak akan ada lagi Pertalite dan Solar di pasar dan hal tersebut merupakan kiamat kecil bagi masyarakat kecil ke bawah.
Ini sebabkan masyarakat akan dipaksa beli BBM non subsidi lebih mahal. Biasanya, masyakarat dan mobil transportasi bahan pokok membayar Rp7650/liter kini menjadi Rp12,500 (pertamax) atau naik 64% saat pertalite tidak ada dipasaran.
Kenaikan 64% tersebut sangat memberatkan masyarakat dan dampak berikutnya harga-harga bahan pokok akan naik karena naiknya ongkos transportasi.
Tercatat pada pertengahan Agustus 2022 ini, publik sudah merasakan kelangkaan Pertalite dibeberapa SPBU.
SPBU yang memiliki pertalite diserbu dan menyebabkan antrian panjang. beberapa konsumen memilih membeli pertamax dan BBM non subsidi karena terpaksa tidak mau antri khawatir terlambat masuk kerja.
Kendalikan Konsumsi BBM tak Efektif Melalui Himbauan
Menteri ESDM, Arifin Tasrif, meminta, orang kaya tidak menggunakan BBM subsidi. Himbuan tersebut tidak akan efektif selama pertalite masih tersedia dan pembeli pertalite tidak diperjelas kriterianya.
Oleh karena itu, Menteri BUMN, Erick Thohir menegaskan, pemerintah berencana melakukan pembatasan pembelian pertalite. Tidak jelas bagaimana pembatasan pembelian pertalite akan dilakukan.
Sesuatu yang pasti adalah kenaikan harga BBM tidak dapat dihindari dan hal tersebut akan berdampak pada daya beli masyarakat.
Subsidi energi Indonesia saat ini sudah besar sekali. Bahkan, Erick Thohir mengatakan tidak ada di dunia saat ini yang subsidinya sebesar Indonesia.
Indonesia pada triwulan III 2022 kelihatannya tidak akan mampu memberikan subsidi energi. Pasalnya Subsidi Energi, Gas dan Listrik telah mencapai Rp502 triliun seperti yang diakui Erick Thohir.
Sementara Menteri Keuangan, Sri Mulyani mencatat, realisasi pembayaran subsidi energi hingga 31 Juli 2022 mencapai Rp116,2 triliun. Angka ini lebih tinggi dari yang dibayarkan pemerintah pada semester II-2021 yang hanya Rp99,6 triliun.
Ironisnya, subsidi energi sudah tidak akan dilakukan lagi oleh Pemerintah namun beberapa proyek infrastruktur yang mensedot APBN terus dipertahankan.
Sebut saja pembengkakan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang akhirnya ditambal dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). PT Kereta Api Indonesia (Persero) diberikan penambahan Penyertaan Modal Negara (PMN) tahun 2022 sebesar Rp 4,1 triliun pada 2022 telah disetujui Komisi VI DPRI RI.
Pemerintah sepertinya kehilangan arah dalam menentukan mana prioritas belanja yang didahulukan dan mana yang harus dibelakangkan.
Prioritas belanja APBN di kondisi daya beli publik menurun seharusnya tidak digunakan untuk belanja infrastruktur.
Sekarang kelihatannya pemerintah yang harus menanggung resiko dan mengalami kebingungan antara membesar subsidi energi atau tetap mempertahankan belanja infrastruktur.
Pemerintah harus bijak dan harus meninggalkan sikap selfish dan egois mengikuti keinginannya karena kondisi energi Indonesia sedang tidak baik-baik saja.