PKS Minta Prabowo Segera Restrukturisasi Utang KCJB: Jangan Terjebak Sunk Cost Fallacy

Intime – Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Amin Ak, meminta Presiden Prabowo Subianto segera mempercepat proses restrukturisasi utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh.

Menurut Amin, langkah ini penting agar pemerintah tidak terus terjebak dalam ‘sunk cost fallacy‘ kebijakan yang dipertahankan hanya karena sudah menelan biaya besar, padahal terbukti tidak efisien dan membebani keuangan negara.

“Sejak awal proyek ini tidak layak secara ekonomi maupun sosial, tetapi terus dijalankan karena sudah terlanjur berbiaya besar. Ini contoh klasik sunk cost fallacy dalam kebijakan publik,” ujarnya di Jakarta, Jumat (31/10).

Ia menjelaskan, dalam teori ekonomi, sunk cost adalah biaya yang sudah dikeluarkan dan tidak bisa dikembalikan. Karena itu, keputusan masa depan seharusnya didasarkan pada prospek manfaat, bukan pada biaya masa lalu.

Amin menyebut proyek KCJB yang semula dijanjikan sebagai simbol kemajuan teknologi kini justru menjadi beban fiskal. Total biaya proyek membengkak hingga USD 7,9 miliar, dengan utang ke China Development Bank (CDB) mencapai USD 5,5 miliar atau sekitar Rp 90 triliun. Laporan keuangan tahun 2024 juga mencatat kerugian mencapai Rp 2,6 triliun.

Amin mengingatkan bahwa Fraksi PKS sejak awal telah menolak proyek KCJB dengan tiga alasan utama Pertama, prioritas APBN saat proyek ini dimulai seharusnya difokuskan untuk penanganan pandemi COVID-19 dan dampaknya terhadap masyarakat kecil.

Kedua, inkonsistensi kebijakan, karena sebelumnya Presiden Joko Widodo menegaskan proyek KCJB murni investasi China tanpa dana dan jaminan APBN. Ketiga, kesalahan kalkulasi investasi yang akhirnya membebani keuangan negara.

“Proyek ini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Tidak hanya tidak efisien, tapi juga memperburuk kondisi fiskal di tengah naiknya utang negara,” katanya.

Agar proyek tidak menjadi beban jangka panjang, Amin mengusulkan restrukturisasi utang disertai langkah monetisasi aset dan efisiensi operasional.

Pemerintah, menurutnya, bisa mengoptimalkan pendapatan non-tiket melalui skema rail + property seperti yang diterapkan di Hong Kong, serta membuka peluang investasi baru dengan tata kelola yang transparan.

Ia juga menawarkan dua opsi tambahan, yakni skema Joint Operation (JO) antara PT KAI/KCIC dan operator China, dengan pembagian pendapatan proporsional serta kewajiban transfer teknologi.

Kedua, skema Build-Operate-Transfer (BOT) selama 50 tahun dalam bentuk ground lease bukan penjualan aset dengan evaluasi setiap 10 tahun dan hak buy-back bagi negara untuk menjaga kedaulatan aset.

Amin juga menekankan pentingnya pengelolaan kawasan Transit Oriented Development (TOD) di sekitar stasiun KCJB secara transparan. Ia mengusulkan pembentukan badan bersama dengan alokasi 20% area untuk ruang publik dan perumahan terjangkau.

“Skema ini harus menjaga keseimbangan antara kedaulatan nasional, efisiensi ekonomi, dan keberlanjutan investasi,” ujarnya.

Ia menambahkan, konsesi BOT sebaiknya dibatasi maksimal 25–30 tahun dengan klausul buy-back dan porsi pendapatan minimal 40 persen untuk negara.

Selain itu, mekanisme revenue sharing, audit independen, serta transparansi kontrak harus diterapkan agar nilai kenaikan lahan (value capture) bisa dikembalikan ke publik.

“TOD harus inklusif, bukan semata komersial. Harus ada pengawasan agar proyek ini tetap berdaulat, efisien, dan memberi manfaat ekonomi luas bagi rakyat,” pungkas Amin.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini