Intime – Pengamat Pemerintahan Universitas Pamulang, Cusdiawan, menyoroti sejumlah kejanggalan dalam polemik Bandara Khusus PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yang belakangan menuai perhatian publik.
Ia menilai ada banyak hal yang harus dijelaskan pemerintah terkait aktivitas bandara tersebut yang diduga berjalan tanpa pengawasan negara selama bertahun-tahun.
“Pertama, jika benar bahwa aktivitas di bandara tersebut tidak ada pengawasan dari pemerintah ataupun yang berwenang selama bertahun-tahun. Apakah selama ini memang ada kesengajaan dan atau pembiaran dari negara itu sendiri? Mengingat di sisi lain, status pendirian bandara ini sendiri tercatat secara formal,” ujar Cus di Jakarta, Jumat (28/11).
Ia menambahkan, sekalipun status bandara itu tidak terdaftar secara formal, pemerintah sejatinya memiliki sistem pengawasan yang cukup kuat untuk memonitor aktivitas di seluruh wilayah Indonesia.
Dengan kapasitas aparatur dan peralatan yang dimiliki, menurutnya sulit dibayangkan negara tidak mengetahui aktivitas penerbangan di sana.
“Maka saya rasa dengan segala sumber daya aparatur dan peralatan yang dimiliki negara, rasanya kurang bisa diterima secara akal sehat juga bila negara tidak mengetahui aktivitas di bandara tersebut,” ujarnya.
Cus, yang juga terafiliasi dengan International Political Science Association (IPSA), menilai isu ini tidak hanya menyangkut potensi pelanggaran administratif, tetapi juga berhubungan dengan legitimasi negara dan isu keamanan nasional.
Ia menyebut wajar jika publik mempertanyakan apakah negara sedang mengalami ketertundukan terhadap korporasi besar.
“Sangat wajar bila muncul pertanyaan dalam benak publik, apakah fenomena tadi menunjukkan ketertundukan negara terhadap korporasi besar? Sejauh mana juga negara bisa menjamin masalah keamanan?” katanya.
Ia mendorong pemerintah melakukan pengawasan ketat sekaligus penyelidikan yang transparan dan akuntabel untuk menjawab spekulasi publik.
Cus menilai keterbukaan merupakan kunci untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap negara, terutama di tengah dugaan adanya praktik shadow economy atau hubungan informal antara penguasa dan korporasi.
“Publik memerlukan penanganan secara transparan dan akuntabel, karena ini berkaitan dengan legitimasi negara itu sendiri,” pungkasnya.

