Oleh: Achmad Rizki Bacaleg NasDem Dapil 8 Jakarta/Santri Assalaffiyah Sukabumi
Diskursus soal agama dan politik selalu menarik dibicarakan. Umumnya, hanya ada dua kelompok besar dalam diskursus ini.
Pertama punya dalil bahwa agama dan politik tidak bisa dipisahkan. Agama berisi perangkat nilai universal yang bersumber dari pesan-pesan langit untuk dibumikan melalui perangkat politik.
Sementara yang kedua justru sebaliknya. Agama harus dipisahkan dari politik. Argumentasinya; agama adalah urusan privat, politik adalah urusan publik. Agama kembali ke rumah ibadah.
Namun, ada “dalil” menarik dari Gus Baha atau KH Ahmad Bahauddin Nursalim. Dia menyatakan, tawadhu dan miskin jangan dinikmati berlebihan sehingga nyaman lalu tidak mau menjadi orang yang menang secara ekonomi dan politik. “Umat Islam harus berada di posisi menang (kaya dan memiliki kekuasaan),” ucap Gus Baha.
Lalu, Gus Baha juga menyatakan: kalau santri enggak mau bahas dan terjun politik, memangnya islam mau disalurkan lewat apa? Seribu fatwa haram melacur.
Inilah orang yang dengan latar belakang santri punya keyakinan bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari politik. Ajaran-ajaran agama justru mengilhami seorang santri masuk dalam pentas politik untuk mewujudkan pesan-pesan langit demi kebaikan manusia. Politik, yang dalam praktiknya pasti berorientasi pada kekuasaan dipahami sebagai sarana berjuang untuk menebar rahmat bagi semesta.
Dalam lintasan sejarah, sejak abad awal Islam, aktor-aktor utama Islam telah membuka jalan dan membuktikan bahwa politik tidak terpisahkan dengan agama. Agama justru menjadi sumber-sumber perumusan kebijakan negara.
Karena itu, bukan sesuatu yang baru bila hari-hari belakangan ini, wacana santri politik mengemuka dan tampil dengan kekhasannnya. Santri politik adalah kalangan terdidik yang terjun ke arena politik dengan membawa serta pesan-pesan agamis.
Dalam arena politik modern, semua harus mendapatkan kesempatan yang sama. Kalangan santri harus diberi ruang yang sama dengan kelompok aliran politik lain yang legal. Mengemukanya kalangan santri dalam pentas politik menuju Pemilu 2024 telah memberi warna yang khas.
Yang pasti, mengemukanya santri di panggung politik mengejutkan dan memunculkan harapan baru. Bahwa santri kini sudah siap melanjutkan perjuangan para founding parent, khususnya dari kalangan santri. Kita optimistis, tampilnya kalangan santri akan memberi warna di tengah semakin liberalnya politik dalam negeri dan sejagad bumi.
Dalam Resolusi Jihad 1945: negara sebagai sarana untuk melengkapi dan mewujudkan kemaslahatan umat manusia.
Lalu, saat santri selesai mengaji selalu ada diskusi apa pun. Misalnya, di kalangan santri ada adigium terkenal yang dikenal istilah tasharruful Iman ala rraiyyah manu thun bil maslahah (kebijakan seorang penguasa kepada rakyatnya ditujukan untuk memenuhi kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakatnya). Inilah sesungguhnnya bahwa politik adalah alat perjuangan agama
Dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (2011), Greg Fealy memberi komentar menarik ketika mengamati sepak terjang NU di bawah kepemimpinan Wahab. Fealy menyatakan, tindakan NU dalam berpolitik sama sekali bukan tanpa prinsip.
NU sesungguhnya berpegang pada ideologi politik keagamaan yang meletakkan prioritas tertinggi pada proteksi sosial terhadap posisi Islam dan para pengikutnya. Kalangan santri memahami bagaimana mengaplikasikan teori kepemimpinan paling fundamen: kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada kemaslahatan.