PPSKI: Pemerintah Perlu Hitung Rasio Impor Daging Beku dan Sapi Bakalan

Intime – Pemerintah disarankan tidak serta merta menutup keran impor daging beku seiring penghapusan kuota impor sapi hidup atau sapi bakalan. Sebab, sapi bakalan yang didatangkan dari luar negeri tersebut harus digemukkan terlebih dahulu sebelum dipotong untuk memenuhi kebutuhan nasional.

“Itu gak bisa seperti hitam putih, daging [beku] disetop [impornya], sapi bakalan dinaikkin [volume impornya]. Gak bisa gitu, kenapa? Karena kita ada proses, ada waktu,” ujar Dewan Pakar Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Rochadi Tawaf, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (19/8).

Jika impor daging beku langsung disetop seiring berlakunya impor sapi bakalan, maka yang dikorbankan adalah sapi lokal.

“Sapi lokal itu sebagai tulang punggung produksi dalam negeri sebagai tolok ukurnya. Kemudian, sapi bakalan itu merupakan daging penyambung dan pendukung tulang punggung. Jadi, kalau kita mau menyetop salah satu, itu otomatis nanti yang dipotong sapi lokal,” jelasnya.

Menurut Rochadi, pemerintah mengukur secara saksama rasio impor sapi bakalan, daging beku, dan lokal sebelum kedua kebijakan tersebut dilakukan. Kebijakan pun mesti dilaksanakan secara bertahap. “Jadi, gak bisa semena-mena gak boleh masuk daging [beku] impor.”

Tantangan Impor Sapi Bakalan

Di sisi lain, Rochadi berpendapat, ada beberapa hal yang mesti diperhitungkan dengan matang oleh pemerintah terkait penutupan kuota impor sapi bakalan. Misalnya, mempertimbangkan asal sapi bakalan hingga harga.

“Apakah Australia siap untuk itu? Apakah Brasil siap untuk itu? Karena bukan hanya jumlah sapi, tetapi harga juga akan sangat menentukan, jarak juga akan sangat menentukan. Misalnya, dari Brasil, sebulan [sampai] ke sininya,” katanya.

“Apakah harganya cocok? Pertama [kali impor] mungkin cocok karena diskon khusus berlaku di sini, tetapi untuk bulan-bulan kemudian, apakah harga akan sama segitu? Kan, belum tentu. Semua tergantung dengan sistem perdagangan yang berlaku antarnegara, fluktuasi dolar. Jadi, semua mekanisme itu secara alamiah,” imbuhnya.

Faktor lain yang harus diperhatikan adalah peternak yang menjadi mitra untuk menggemukkan sapi bakalan tersebut. Sebab, berdasarkan pengalaman sebelumnya, tidak berjalan dengan baik sesuai harapan.

“Kepada siapa [sapi bakalan didistribusikan]? Kalau berdasarkan pengalaman kita dibagikan kepada peternak yang enggak berpengalaman, habis semua. Asosiasi sapi yang berhasil pun berapa persen? Enggak ada sampai 10%-20%. Yang disebarkan kemarin ratusan ribu ekor itu, habis semua, enggak ada bekasnya,” beber Rochadi.

“Infrastruktur juga. Mau ditaruh di mana? Pakannya siapa yang kelola? Jadi, tentu ada risiko [yang harus diperhatikan],” imbuhnya.

Menteri Koordinator (Menko) Pangan, Zulkifli Hasan, sebelumnya memutuskan untuk menghapus kuota impor sapi bakalan bahkan akan menyetop impor daging beku. Langkah ini diambil karena dinilai lebih menguntungkan secara ekonomi dan berdampak positif bagi peternak.

“Penggemukan itu, kan, kita beli sapinya kecil. Digemukkin 6 bulan hingga 1 tahun. Itu ada peternaknya, ada petani rumput, ada makanan jagung. Jadi, banyak yang terlibat,” beberapa Zulhas, sapaannya, di Jakarta, 16 Mei lalu.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini