Prabowo–Gibran di Tahun Pertama: Antara Konsolidasi Elite dan Janji Populis yang Menggantung

Intime – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka akan genap berusia satu tahun pada 20 Oktober 2025. Selama periode tersebut, arah kebijakan, dinamika kekuasaan, dan tantangan struktural mulai menunjukkan pola yang cukup jelas.

Secara retorika, pemerintahan ini menekankan narasi keadilan sosial dan pemerataan. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ekonomi dan pembangunan masih melanjutkan warisan Presiden Joko Widodo, terutama pada percepatan proyek infrastruktur strategis, hilirisasi industri sumber daya alam, dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

“Kontinuitas ini memang memberikan stabilitas transisi, namun sekaligus memperkuat kritik bahwa pemerintahan baru ini lebih merupakan kelanjutan dari rezim lama dengan pergantian aktor, bukan transformasi substantif,” kata pengamat Hukum Universitas Pamulang, Dian Eka Prastiwi, Minggu (19/10).

Menurut Dian, Prabowo yang semasa kampanye menjanjikan kebijakan populis seperti beras gratis dan BBM murah kini dihadapkan pada realitas fiskal yang ketat.

“Di tengah tekanan inflasi global, ketidakpastian geopolitik, dan perlambatan ekonomi dunia, pemerintah memilih pendekatan fiskal yang lebih hati-hati, dengan penekanan pada efisiensi belanja, subsidi tepat sasaran, dan penguatan sektor UMKM sebagai penyangga ekonomi rakyat. Namun, kebijakan ini rentan dikritik sebagai inkonsistensi politik menjanjikan kemurahan di masa kampanye, lalu menarik diri dari janji tersebut setelah berkuasa,” ujarnya.

Sementara itu, Gibran Rakabuming Raka yang menjadi wakil presiden termuda dalam sejarah Indonesia, dinilai berperan sebagai simbol regenerasi kepemimpinan sekaligus jembatan ke generasi muda. Meski begitu, kehadirannya juga menimbulkan kontroversi soal nepotisme dan minimnya pengalaman politik nasional.

“Meski Gibran aktif dalam kampanye digital dan responsif terhadap isu ekonomi kreatif serta transformasi digital, pertanyaan soal kapasitas dan kemandirian politiknya masih menggantung. Perannya sejauh ini lebih simbolis ketimbang strategis,” ujar Dian.

Dari sisi politik, pemerintahan Prabowo–Gibran menikmati dukungan mayoritas fraksi di parlemen berkat koalisi besar yang mencakup hampir seluruh partai besar. Kondisi ini memudahkan pemerintah mendorong agenda legislasi strategis, termasuk revisi undang-undang yang mendukung investasi.

“Namun, dominasi koalisi berpotensi melemahkan fungsi pengawasan. Jika oposisi dilemahkan atau diserap ke dalam kekuasaan, maka demokrasi bisa terancam. Ruang sipil yang sempat menguat di era Reformasi berisiko menyempit di bawah pemerintahan yang menekankan stabilitas dan konsolidasi elite,” katanya.

Dian menilai, tantangan terbesar dalam satu tahun pertama pemerintahan ini bukan hanya implementasi kebijakan, tetapi juga pengelolaan ekspektasi publik.

“Janji-janji kampanye seperti penghapusan kemiskinan ekstrem atau transformasi ekonomi cepat sulit diwujudkan dalam kondisi struktural yang kompleks. Kegagalan memenuhi janji bisa memicu kekecewaan di kalangan kelas menengah urban dan generasi muda yang semakin kritis,” ujarnya.

Selain itu, pemerintah juga perlu menjaga keseimbangan dalam koalisi yang heterogen — dari partai berbasis massa tradisional hingga kekuatan oligarki dengan kepentingan ekonomi besar.

“Jika tidak hati-hati, pemerintahan ini bisa terjebak dalam logika bagi-bagi kekuasaan yang mengorbankan efisiensi dan akuntabilitas,” tambahnya.

Dian menekankan, keberhasilan tahun pertama pemerintahan Prabowo–Gibran akan diukur bukan hanya dari pertumbuhan ekonomi, tetapi juga sejauh mana mereka mampu menunjukkan bahwa pemerintah bukan sekadar perpanjangan tangan oligarki lama.

“Jika mampu menjaga keseimbangan fiskal tanpa mengorbankan perlindungan sosial, melakukan reformasi birokrasi transparan, dan membuka ruang partisipasi publik yang inklusif, maka fondasi menuju Indonesia Emas 2045 bisa mulai dibangun,” kata Dian.

Namun, ia mengingatkan, jika pemerintah justru mengandalkan narasi populis jangka pendek dan memperkuat praktik politik dinasti, maka legitimasi publik terutama dari generasi muda bisa cepat memudar.

“Satu tahun pertama bukan sekadar masa transisi, tetapi ujian krusial bagi arah demokrasi Indonesia ke depan,” pungkasnya.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini