Prabowo Hadapi Risiko Besar Jika Tambah Kementerian Baru

Presiden Terpilih Prabowo Subianto berencana untuk menambah jumlah kementerian pada masa pemerintahannya. Namun, rencana tersebut menuai kritikan tajam.

Ahli Kebijakan Publik Achmad Nur Hidayat menilai jika pembentukan kementerian lebih didorong oleh selera atau preferensi pribadi seorang presiden, risiko yang dihadapi bisa sangat besar.

“Dampak dari keputusan semacam ini tidak hanya bersifat jangka pendek tetapi juga berpotensi menimbulkan masalah serius dalam jangka panjang,” kata Achmad dalam keteranganya di Jakarta, Selasa (8/10).

Salah satu bahaya terbesar ketika pembentukan kementerian atau badan baru hanya mengikuti selera presiden adalah hilangnya dasar akademis yang kuat sebagai landasan keputusan.

“Pembentukan kementerian baru yang hanya menyesuaikan dengan selera pemimpin tertinggi berpotensi merusak tatanan ini,” ungkap Achamd.

Bentuk nyata dari dampak negatif pembentukan kementerian berdasarkan selera presiden adalah terjadinya tumpang tindih kewenangan dan ketidakefisienan dalam pelaksanaan tugas.

“Pembentukan kementerian baru tanpa pertimbangan yang tepat sering kali menciptakan situasi di mana beberapa kementerian memiliki peran dan tanggung jawab yang saling tumpang tindih,” jelas Achmad.

Sehingga ketika tugas-tugas kementerian baru tidak terdefinisikan dengan jelas, akan sulit bagi birokrasi untuk berfungsi secara efektif.

“Tumpang tindih ini tidak hanya membingungkan pegawai negeri yang bekerja di dalam birokrasi, tetapi juga menghambat proses pengambilan keputusan yang seharusnya cepat dan tepat,” tutur Achmad.

Selain itu, pembentukan kementerian yang hanya didasarkan pada preferensi presiden dapat mengakibatkan alokasi anggaran yang tidak efisien.

Pembentukan kementerian baru secara sembarangan akan menyebabkan anggaran negara terkuras untuk membiayai operasional kementerian yang mungkin sebenarnya tidak dibutuhkan.

“Alokasi anggaran yang seharusnya bisa digunakan untuk progrram-program yang lebih berdampak luas pada kesejahteraan masyarakat malah habis untuk mendanai struktur birokrasi yang terlalu besar,” tutur Achmad.

Ekonom dari UPN Veteran ini mengingatkan, birokrasi pemerintahan adalah mesin yang seharusnya berfungsi secara profesional dan objektif.

Birokrasi memiliki aturan main dan sistem yang dirancang untuk melayani kepentingan masyarakat secara luas. Oleh karena itu, birokrasi tidak boleh menjadi korban perubahan yang hanya didasarkan pada like dan dislike seorang presiden.

“Sifat birokrasi yang harus stabil dan konsisten memerlukan keputusan yang matang serta dipandu oleh data dan analisis yang kuat,” tutup Achmad.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indonesia Terkini