Intime – Penetapan gelar Pahlawan Nasional bagi Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, terus menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Perdebatan itu dinilai sebagai refleksi atas pandangan publik terhadap sejarah dan nilai kepahlawanan bangsa.
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati, menilai dinamika yang muncul tersebut sebaiknya dijadikan bahan evaluasi dan pembelajaran bagi pemerintah dalam menentukan pemberian gelar pahlawan nasional di masa mendatang.
“Saya pikir pro dan kontra menjadi pembelajaran bagi pemerintah dalam pemberian gelar pahlawan berikutnya,” ujar Wasisto di Jakarta, Kamis (13/11).
Menurutnya, pemerintah seharusnya meninjau kembali keputusan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dengan mempertimbangkan aspek moral dan etika, bukan sekadar pertimbangan politik.
“Idealnya pemerintah saat ini mengevaluasi lagi usulan pahlawan nasional, tidak terlalu besar kepentingan politiknya, namun lebih mengedepankan pembelajaran moral dan etika yang bisa diteladani dari figur pahlawan tersebut,” jelas Wasisto.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya objektivitas dan transparansi dalam proses penetapan gelar pahlawan nasional. Dengan begitu, penghargaan tersebut benar-benar diberikan kepada tokoh yang memiliki kontribusi nyata dan layak dijadikan teladan bagi generasi bangsa.
Wasisto berharap polemik yang terjadi bisa menjadi momentum untuk memperkuat kesadaran publik akan pentingnya nilai-nilai moral dalam menilai jasa seorang tokoh, bukan semata-mata berdasarkan pencapaian politik atau kekuasaan.

